Monday, December 18, 2006

Artikel

Politik Kiai
Oleh : Jhelly Maestro

Disebuah negara imajiner, Kang Tohari tiba-tiba keseleo lidah bilang, “Kiai yang berpolitik praktis seketika itu otomatis tak pantas disebut Kiai lagi”. Karena omongannya yang cukup berani itu, Kang Tohari digugat oleh Kang Martopacul, Mas Matri dan Den Besus.
“Kamu ini kelewatan; berani ngomong sekeras itu tentang kiai”. Kata mas mantri mengawali gugatannya. “Iya, apa kamu lupa kiai adalah ulama, yang tak lain adalah entitas pewaris para nabi” ujar Kang Martopacul mendukung. “Sepakat, kamu jangan asal ngomong. Coba beri penjelasan mengapa seorang kiai menurut kamu tak pantas menggeluti urusan politik. Apa urusan seperti itu termasuk perkara haram?” tambah Den Bagus lagi.
Kang Tohari yang diserang dengan kata-kata bak air hujan menubruk atap seng itu menjadi gemetaran. Tapi ia mencoba menjawab tegar. “Begini, pertama saya ingin katakan bahwa saya menyesal telah ngomong sekeras itu tentang kiai. Kalau bukan karena cinta saya kepada kiai dan lembaga kekiaian saya tidak akan ngomong sekeras itu” Kang Tohari mencoba membela diri.
“Kamu ngawur! Cinta kiai kok omongmu begitu keras terhadap sebagian dari mereka. Ini bagaimana?” Kejar Mas Mantri.
“Maafkan saya mas. Omongan saya kemarin itu berangkat dari segi hakikat kiai dan kekiaian. Menurut saya, dari segi ini kiai memang kurang pas berpolitik”
“Kok” kata mas mantri dengan mata membulat.
“Iya, sampeyan barusan bilang bahwa kiai itu pewaris para nabi. Sampai disini saja sudah janggal, mosok kiai mau turun derajat ngurusi politik yang dalam kenyataannya merupakan ajang pergumulan antar kepentingan golongan bahkan pribadi. Kiai sepatutnya cukup menjadi penjaga moral saja lah!”. Tangkis Kang Tohari mantap.
“Termasuk moral para politisi” sela Den Bagus.
“Ya, politisi dari semua golongan. Seorang kiai semestinya berdiri ditengah-tengah menjadi figur yang netral. Kalau kiyai sudah berpolitik, berarti dia sudah pro terhadap salah satu golongan. Ini artinya, kiai itu harus siap “bertengkar” dengan kiai lain yang memihak digolongan berbeda bukankah ini artinya kiai menurunkan drajatnya sendiri?”. Ujar Kang Tohari merasa menang.
Setelah membaca cerita dalam buku Ahmad Tohari Mas Mantri Menjenguk Tuhan itu, saya kok merasa ada persamaan dengan yang saya alami didesa beberapa waktu lalu. Jika Kang Tohari menggugat kiai, saya lebih dekat lagi, yang saya gugat bapak saya sendiri.
Gugatan saya juga sama beralasannya dengan Kang Tohari, selain karena perasaan cinta terhadap orang tua saya itu, juga sepertinya saya tidak ikhlas melihatnya dijadikan bulan-bulanan politik pemilihan kepala desa (pilkades) yang sedang berlangsung. Dan gara-gara itu, seperti ujar kang Tohari, ia seakan mengorbankan kehormatan dirinya dimata masyarakat. Paling tidak ini ditunjukkan dengan semakin berkurangnya kuantitas jama’ah yang mau mendengar pengajian-pengajiannya setiap pagi selepas subuh.
Saya sudah memberinya peringatan dengan bahasa yang mungkin lebih keras dari Kang Tohari.
“Bapak itu Maqomnya (tempat) lain, tugas bapak cukup mengaji, bahas kitab kuning, ngapain ikut-ikutan politik” kata saya suatu hari.
Namun, jawaban bapak ternyata tak kalah garang dengan Kang Martopacul, Mas Matri dan Den Besus. “Saya punya kewajiban membimbing masyarakat memilih kepala desa yang benar sesuai dengan Al-qur’an dan Hadist” tandas bapak menimpali saya bernada lumayan tersinggung.
“Tapi siapa yang jamin?, jika kepala desa yang bapak dukung dan bapak mengajak masyarakat mendukungnya, setelah menjadi kepala desa nanti akan betul-betul baik?” Tanya saya tak mau kalah.
Suasana menjadi hening. Bapak terlihat mengerutkan kening dan menunduk. Tiba-tiba saya merasa bersalah telah terlalu keras berkata seperti itu. sayapun melanjutkan kata-kata saya ”Mohon maaf pak, saya hanya khawatir saja, dalam politik pilkades ini bapak sekadar ikut-ikutan, dan akhirnya bapak hanya jadi bulan-bulanan saja ketimbang menjadi pemain sungguhan”.
Mendengar omongan saya itu, bapak terlihat berfikir keras. Saya tidak tahu ia faham dengan bahasa saya atau tidak. Tapi pagi harinya isi ceramah bapak cukup mengehentak hati saya. Ia bilang mulai hari itu, ia tidak akan memihak pada siapa-siapa. Lebih dalam lagi, Ia menganjurkan masyarakat supaya memilih dengan hati nurani. Tepatkah pilihan bapak saya?

Kiai dan Film Lion Battlefield
Pemikiran saya menjadi lain setelah mendiskusikan sebuah film dokumenter Lion Battlefield bersama kawan-kawan aktivis di Mataram. Film yang berkisah tentang politik dunia fauna ini berhasil menyedot energi saya untuk faham benar peran politik setiap warga negara ini, tak terkecuali para kiai dan bapak saya itu.
Dalam sebuah adegan, film itu menggambarkan aksi sekelompok gajah yang mengambil sikap apriori terhadap hiruk pikuk politik dunia binatang. Walau sebenarnya ia mempunyai kekuatan yang bahkan dapat menandingi kekuatan sang raja hutan sekalipun. Namun ternyata gajah samasekali tidak memiliki insting politik berkuasa. Sehingga predikat si raja hutan tetap saja dimiliki singa.
Sikap apriori seperti itu memberi dampak positif dan negatif bagi kehidupan sang gajah. Negatifnya ia tak lebih sebagai pemain figuran. Tak mempunyai peran signifikan. Dan cenderung tak menunjukkan eksistensi dirinya kecuali saat adegan merobohkan pohon-pohon dikala musim kemarau datang dan rumput-rumput menjadi kering. Tapi letak positifnya gajah tak mempunyai musuh satupun. Ia menjalani hidup dengan enjoy, tak ada beban apapun ditengah megahnya imperium kekuasaan yang dibangun singa. Tugasnya hanya satu, melengkapi rotasi ekosistem alam yang berkelindan secara harmonis.
Setelah melihat gajah, saya melirik politik para kiai. Walaupun saya tidak mengatakan kiai harus seperti gajah (maaf!). Namun paling tidak dari sikap apriori gajah sang kiai bisa belajar. Tugas kiai tentu saja menyeru moral. Sebagai pewaris para nabi, tugas kiai adalah berdakwah, menyampaikan pesan-pesan Tuhan. Diluar itu ia bertanggungjawab memerankan diri sebagai bagian dari ekosistem sosial yang profesional dengan maksud agar kehidupan manusia tetap harmonis seperti harmonisnya alam.
Pendapat saya ini ternyata mendapat bantahan dari kawan dekat saya. “Kamu ini sama saja dengan Kang Tohari, terlalu ekstrim!” katanya beberapa saat menjelang diskusi berakhir.
“Tidak ada salahnya kiai atau bapakmu berpolitik. Hanya saja yang perlu diperhatikan adalah konteks kiai itu berpolitik. Apakah dia dalam posisi terhegemoni atau justru terkooptasi?”. Tambahnya lagi.
“Ah bahasamu terlalu tinggi aku tidak ngerti” kata saya.
“Maksud saya begini, kan ada kiai yang berpolitik didasari oleh rasa tanggungjawab pada masyarakatnya, namun sang kiai kadang merasa ruang gerak dakwahnya terlalu sempit sehingga tidak cukup signifikan menghasilkan perubahan. Oleh sebab itu, kiai model begini memilih jalur politik “resmi” atau konvensional, ini saya sebut kiai yang terhegemoni”
“Lalu, yang satunya” kejar saya penasaran.
“Ada kiai yang memang sejak awal terkooptasi politik. Dia sekedar ikut-ikutan, pengen pesantrennya dapat sumbangan atau minimal pesantrennya sering dikunjungi pejabat. Lalu sang kiai ikhlas-ikhlas saja melakukan kampanye gratis lewat pengajian-pengajiannya”. Jelas teman saya itu panjang lebar. Saya sungguh tidak meragukan komentar-komentar teman saya itu, sebab saya tahu teman itu sedang kuliah di Pascasarjana Ilmu Sosial dan Politik Universitas Gajah Mada Yogyakarta. “Soo pasti dia lebih jago” fikirku.
Saya lalu mikir, dimana posisi bapak kalau demikian? Jika bapak ikut politik dengan mendukung salah satu calon kepala desa itu, demi ketulusan niat andil memperbaiki desa? Berarti saya berdosa dong telah menghentikan bapak nimbrung dipolitik!. Tapi jika memang tujuan bapak ikutan nimbrung sekedar ikut-ikutan? Semoga saja saya masuk syurga karenanya!. “Sayang, saya terlalu cepat memvonis” ujar saya dalam hati. Seandainya ada kesempatan, saya malah ingin menyuruh bapak berpolitik saja, bahkan mencalonkan diri sekalian jadi kepala desa. Ups!.[]

M. Ridwan ...
Oleh: Jhelly Maestro

Kematian Muhammad Ridwan mengejutkan kita semua. Bukan karena dramatisnya urutan peristiwa yang terjadi dalam konflik di kampus IKIP Mataram itu. Semenjak rentetan kasak-kusuk terjadinya korupsi dipihak rektorat kemudian berlanjut pada pemecatan sang Rektor oleh pihak yayasan lalu sebagai klimaks penusukan atas M. Ridwan yang terekam kamera wartawan dengan terang benderang.
Bukan pula karena Ridwan tokoh mahasiswa satu-satunya yang masih mungkin menandingi Soe Hok Gie dalam popularitasnya sebagai aktifis cemerlang pada masanya, tetapi lebih karena pertanyaan bagaimana mungkin dilingkungan kampus yang disitu orang-orang bertindak dengan akal sehat tiba-tiba terdapat orang-orang seram yang justru tak “berakal” seperti hewan. Di kampus yang dikenal hanya terdapat benda-benda seperti buku dan bulpen tiba-tiba terdapat juga alat-alat perang seperti golok, parang, batu dan kayu?
Rasa terkejut yang sama dirasakan saat kematian aktivis Hak Asasi Manusia (HAM) Munir ketika hendak berangkat kuliah ke Belanda. Atau kematian Soe Hok Gie yang demikian misterius yang hingga hari inipun belum ada yang bisa meyimpulkannya apakah ia diracun, bunuh diri atau dibunuh dengan sengaja?
Dalam keadaan seperti itu, kematian M. Ridwan juga tidak terkecuali. Perbedaannya dengan Munir Dan Gie hanya pada proses kematiannya yang misterius, sementara M. Ridwan terbunuh nyata-nyata didepan mata. Perbedaannya juga, M. Ridwan dibuat sejarah menjadi lebih dikenal karena peristiwa kematiannya daripada ketika ia masih hidup. Tak seperti Gie atau Munir yang memang kredibilitas dan aktifitasnya selama hidup membawa banyak kenangan untuk HAM dan Perdamaian.
Dengan demikian peristiwa kematian M. Ridwan kemungkian akan segera hilang dengan mengalirnya waktu. Kecuali misalnya terjadi kontalasi politik baru di kampusnya yang kemudian membangkitkan keberanian mahasiswa IKIP ber-aksi lagi. Soo terbunuhnya Ridwan dapat menjadi pelatuk gerakan besar yang akan merobohkan sendi-sendi ketimpangan di kampus IKIP Mataram hari ini. Tetapi saya menyangsikan hal itu bisa terjadi, karena banyak alasan. Salah satunya melihat derasnya gesekan politik elit dalam polemik IKIP Mataram itu.
Pekan-pekan ini gesekan politik elit (terutama elit IKIP Mataram) terdengar memanas, ya sekitar 89 derajat selsius lah!. Rumor yang saya terima dari seorang teman, sebuah sinyal bakal ada tersangka baru dari pihak yayasan IKIP Mataram tidak lama lagi. Karena itu pihak yayasan IKIP segera membentuk tim pembela khusus bernama Tim Dua Belas. Mereka terdiri dari pengacara-pengacara dan ahli hukum kaliber semisal Sirra Prayuna. SH dan H. Asikin SH.
Jauh-jauh hari sebelumnya, dari pihak pejabat kabupaten Bima juga membentuk tim investigasi khusus atas kasus ini. Ini juga tak tanggung-tanggung yang membentuknya langsung Bupati Bima Fery “Harun Ar-Rasyid” dan dananya menggunakan Anggaran Pendapatan Dan Beanja Daerah (APBD) Bima. Di tempat lain juga telah terbentuk sebuah tim dari beberapa Lembaga Suadaya Masyarakat (LSM) bernama (jika tidak salah) Tim Pembela Mahasiswa (TPM).
Nampaknya peperangan sesungguhnya baru saja digelar. Berbagai forum yang yang membicarakan khusus perihal kasus ini kian marak saja. Dua pekan lalu misalnya sebuah LSM bernama Komite Anti Kekerasan (KRAK) mengundang saya berdiskusi di hotel Granada namun sayang saya tidak bisa hadir.
Yang luar biasa beberapa hari lalu, saya mendapat undangan diskusi lagi. Kali ini yang mengadakan bukan sembarang orang tapi adalah Sirra Parayuna SH, seorang pengacara yang masuk dalam Tim Dua Belas dan pernah mendampingi Mulyana dalam kasus korupsi di Komisi Pemilihan Umum (KPU). Yang menarik dalam undangan berupa SMS itu terdapat juga nama Salamudin Daeng, aktivis LSM yang selama ini “getol” dalam advokasi rakyat termasuk masalah Newmount di Sumbawa.
Karena penasaran, sayapun antusias hadir di forum itu. Sesampai disana saya cukup tercengang karena yang hadir terlihat tidak berimbang. Salamudin Daeng -yang mungkin saja menjadi “iklan” pemikat kehadiran saya- juga tidak terlihat. Orang-orang IKIP sendiri yang bermasalah dan akan menjadi topik pembicaraan dalam diskusi itu tak tampak satupun. Justru yang ada adalah orang-orang luar IKIP, wartawan dan bahkan mahasiswa IAIN yang jauh tidak mengerti persoalan.
Mengapa? Mungkinkah forum ini di backing pihak yayasan yang kelihatan terpojok di meja penyidik? Mungkinkah forum ini juga sebagai usaha pembelaan pihak yayasan bahwa mereka tidak terlibat dan bersalah dalam kasus terbunuhnya M. Ridwan? Hati sayapun mengira-ngira. Dari alur diskusi yang saya ikutipun terjawab bahwa forum ini tak lain untuk itu. Sirra Prayuna dengan teori-teori hukumnya menceramahi peserta dengan bahasa-bahasa “langit” yang ujung-ujungnya harus diakui berada dipihak yang pro yayasan.
Pembicaraan akhirnya terlihat “tidak nyambung”. Peserta mayoritas melihat persoalan IKIP dari sudut sosiologis kekerasan dan kemanusiaannya, sementara Sirra dengan gigih mengarahkan forum itu tetap melihat kasus IKIP dari sudut hukumnya. Walhasil, forum bak cerita dua orang buta yang mendeskripsikan gajah dengan hasil yang berbeda-beda. Seorang mendeskripsikan gajah berbentuk kecil mungil dan memanjang karena memegang ekornya, seorang lagi mengatakan gajah besar, lebar seperti piring karena memegang kupingnya.
Namun lumayan, ceramah Sirra sedikit tidak akan mempengaruhi pemikiran masyarakat NTB. Minimal, pertama karena dia “orang” hukum dan kedua karena beberapa waktu lalu sempat menjadi “artis” di koran dan televisi dalam kasus Mulyana. Inilah mungkin niatan substansi dari forum ini. Namun yang dilupakan oleh penyelenggara acara bahkan oleh Sirra Cs. sendiri, bahwa masyarakat NTB bukanlah masyarakat buta-tuli yang tak melihat persoalan IKIP secara jernih. Mereka yang akan menilai proses kasus IKIP ini sampai selesai nanti, siapa yang benar dan siapa yang salah?.
Saya ingin sedikit menggarisbawahi catatan akhir saya selepas diskusi itu. Seorang wartawan kantor berita Antara yang mengaku bernama Jonard bercerita. Semasa ia kuliah pernah ditanyai temannya
“Jonard, kamu jurusan apa?”
“Jurusan Hukum Dagang mas” kata Jonard.
“Kalo’ demikian, nanti jadi sarjana apa dong?” Jonard diam.
Temannya menyambut lagi “Sarjana pedagang hukum ya?” tandas kawannya itu sinis.
Saya tidak lantas berkesimpulan kasus IKIP Mataram sedang diperdagangkan. Tapi yang lumrah dalam proses hukum apapun dinegeri ini, “hukum yang diperdagangkan” menjadi kenyataan memilukan yang sulit dibantah. Hukum tak lebih dari sembako yang memang bisa dijual dan dibeli. Hingga tak heran, banyak yang miris melihat lembaga kepolisian, kejaksaan dan pengadilan bak pasar modal, siapa banyak uang dialah yang menang.
Mungkinkah demikian dengan kasus IKIP? Sehingga sayapun bertanya-tanya, mengapa diskusi itu harus dilaksanakan di hotel megah dengan menu buka puasa mewah meriah? Betulkah Sirra Prayuna demikian “kelebihan uang” sehingga menyewa hotel demikian gampang jika tidak ada yang disembunyikan? Pertanyaan ini tak usah ditafsir lain bung!, itu hanyalah dugaan. Dalam hukum, ini juga termasuk praduga tak bersalah bukan? entahlah!.[]

NTB Miskin Akal Sehat
Oleh: Jhelly Maestro

Tak sengaja saya melontarkan pertanyaan singkat pada seorang intelektual muda NTB yang akhir-akhir ini banyak mengalirkan ide-idenya di koran dan buku, Farid Tolomundu. Pertanyaan saya seputar pandangannya pada kasus IKIP Mataram. Singkat saja ia Jawab “NTB Miskin Akal Sehat”.
Saya merenungi rangkaian “empat kata” dalam jawaban itu hingga larut malam, dan hati sayapun menambah-nambah, selain akal sehat, NTB juga miskin malu, miskin wibawa, miskin harga diri dan pokoke –pinjam bahasa jawa- miskin segala-galanya.
Lihatlah misalnya! betapa lembaga pendidikan kita miskin (tidak) malu digunjing sana-sini, mem-“boking” preman untuk menyikat mahasiswa-mahasiswanya. Lihat juga! betapa wajah kita coreng-mopeng-bopeng dengan korupsi sehingga kita tak punya wibawa. Lihat juga! Betapa kita tidak punya harga diri berjibun menguli dinegeri lain, disiksa, diperkosa dan bahkan ada yang pulang tinggal nama.
Ini pemandangan kita tentang NTB yang miskin-papa, miskin lahir sekaligus bathin. Ungkapan “Miskin akal sehat“ adalah vonis dari komplitnya persoalan kemiskinan yang kita alami. Pemerintah dan masyarakat samasaja, “miskin akal sehat dan miskin nurani”. Misal kita lihat betapa pemerintah ‘miskin” melihat persoalan kemiskinan itu sendiri. Busung lapar dianggap sekadar buah “kecerobohan birokrasi” yang membiarkan media massa menyorot bebas kasus itu. Berbagai upaya dilakukan agar media tidak mendengar dan memperhatikannya lagi. Bahkan diharapkan media juga turut berkolusi dan bersembunyi dibalik selimut tebal pragmatisme wartawan.
Yang paling nyata dan seksi, kasus terbunuhnya mahasiswa di kampus IKIP Mataram baru-baru ini yang konon diselipi agenda suksesi pemilu 2008. Oh tidak...betapa miskinnya akal sehat kita, menukarkan nyawa satu generasi muda berwajah dan berhati putih-bersih sekadar untuk menggelar perhelatan perebutan kursi di daerah ini. Tidak sekedar “miskin”, tapi akal sehat beserta nurani itu telah “hilang”.
Pada setiap perputaran sejarah akan ada masa dimana akal sehat dan nurani mayoritas manusia akan dikalahkan oleh ambisius kekuasaan (politik). Sehingga muncul ketidakadilan dan penindasan. Setelah itu, biasanya akan muncul manusia-manusia lain yang justru berteriak lantang menyuarakannya kembali, tapi jumlah mereka minoritas dan merekapun marginal dan tertindas.
Saya teringat dengan sebuah film dokumenter cukup gress berjudul Luther. Film garapan Camille Thomasson dan Bart Gavigan ini bertutur profil kehidupan Teolog Jerman Martin Luther. Digambarkan, masa hidup Luther adalah masa dimana akal sehat dan keadilan menjadi barang “mainan” segelintir elit politik dan agama. Sangat mengiriskan! Kekuasaan Gereja menjadi rezim absolut yang bejat dan menindas. Surat penghapusan dosa yang terkenal itu dibayar dan hasilnya untuk berfoya-foya penguasa politik dan gereja Roma saat itu.
Agama menjadi opium (candu) yang memabukkan rakyat. Mereka membiarkan diri tertindas dan “tawadluk” melihat akal sehat dilindas-lindas. Luther-pun bangkit melawan. Ruh kristen (gereja) yang “kasih” dibangkitkan. Kebangkitan Luther dilawan dengan represif, bahkan digambarkan upaya pembunuhan Luther. Namun nawaitu Luther terus melawan sampai akhirnya-pun ia menang.
Masa-masa seperti kehidupan Luther saya kira sedang dipertontonkan di NTB. Praktek politik kekuasaan berakibat fatal pada hilangnya kesadaran masyarakat kita. Akal sehat dan nurani menjadi “bumbu” wajib diseputar konflik –konflik ditengah masyarakat. Agama tak jarang dimainkan (lihat kasus Ahmadiyah dan Salafi), Isu etnis juga dikedepankan (lihat kasus IKIP), dan kesemuanya nyaris selalu terselipi kepentingan-kepentingan politis pihak-pihak tertentu.
Memperguat asumsi ini, tidak cukup di “nalar” misalnya, sebuah persoalan internal IKIP Mataram-yang sebetulnya masih bisa diselesaikan secara kekeluargaan- ternyata melibatkan banyak pihak yang justru tidak ada sangkut pautnya dengan IKIP Mataram. Disitu ada Preman, Walikota hingga angota DPRD. Kasusnya menjadi sangat dramatis, rumit sekaligus politis. Demikian pula dengan kasus-kasus lain, penyerangan Ahmadiyah dan Salafi, Keruhan-kerusuhan antar desa dan kampung, kerusuhan atas nama sentimen agama seperti kasus 171 dan masih banyak lagi.
Waktu yang akan menjawab bahwa memang politik itu “anarkis” dan kejam. Wanti-wanti Pendiri Nahdlatul Wathan Syech Zainuddin Abdul Madjid puluhan tahun silam mungkin perlu dicermati. “sai-sai bepolitik iye licik, si-sai licik iye tegitik, sai-sai tegitik iye melitik”. (siapa yang berpolitik maka dia licik, siapa yang licik maka akan dipukuli, yang dipukuli maka kesakitan). Saya fikir senada dengan yang diungkapkan Jean Paul Saltre “siapa-siapa yang masuk wilayah abu-abu (grey area/politik) maka ia akan menjadi anjing-anjing politik” yang sanggup menjilat, menerkam dan saling bunuh. Jangan pernah berharap akal sehat digunakan dalam politik karena disitu yang ada hanyalah kepentingan semata.[]

Udayana! Mau Kemana?
Oleh : Jhelly Maestro

Tiga tahun lalu saya jalan-jalan di seputar Udayana, suasana lengang dan sepi masih terlihat kondusif dimanfaatkan untuk sekedar melepas lelah atau berdiskusi disore hari. Kendaraan bermotor masih terlihat melintas satu dua. Bila pagi dan sore hari saya perhatikan hanya dua sampai tujuh orang saja yang lalu-lalang menikmati pemandangan sambil menghirup udara segar disana. Antara hari libur seperti minggu dan hari-hari biasanya tak tampak banyak perbedaan. Saya tidak bertanya saat itu akan bagaimanakah konstruksi daerah ini tiga tahun mendatang? Masihkah akan terlihat seperti ini?.
Justru pertanyaan itu muncul saat Udayana sudah berubah total. Jalan-jalan tak lagi tenang. Hiruk-pikuk orang-orang lebih riuh rendah dari suara ibu-ibu dipasar, desingan knalpot dan kepulan asap tebal membuat paru kita terbatuk-batuk. Tak ada yang nyaman lagi terkecuali bagi mereka yang memang senang dengan keramaian. Disaat inilah pertanyaan yang sempat tertunda itu muncul kembali. Akan bagaimanakah suasana Udayana tiga tahun lagi? Tepatnya tahun 2008 nanti? Akankah masih kutemui seperti saat ini?.
Jawaban atas pertanyaan saya ini melintas dan membayang ketika pada akhir 2004 dua tahun lalu, Walikota Mataram H. Ruslan, SH. menandatangani persetujuannya atas pembangunan Waterboom didaerah ini. Jawaban saya nampaknya akan sarat subyektifitas. Bagaimana tidak? Saya membayangkan konstruksi Udayana tiga tahun mendatang akan tampak seperti konstruksi areal pantai kute di Bali. ketika saya berkunjung ke daerah kute itu, saya hampir tak bisa membedakan mana siang mana malam, walaupun saya sadar betul, malam tentu gelap dan siang pasti terang. Tapi lain sekali, kehidupan di pantai terpavorit di Bali itu justru terlihat hidup pada malam harinya. Sehingga sore akan terlihat seperti pagi dan pagi akan terlihat seperti sore. Lho kok begitu?
Ya, seperti yang saya saksikan, ketika remang senja mulai merona dipantai itu, gadis-gadis bali yang seksi bahkan “bahenul” akan mulai keluar rumah. Kafe-kafe yang sedari pagi tutup pintu, sore ini akan dibuka lebar-lebar oleh pemiliknya, acara-acara spesial di setiap hotel yang berjejer akan ditabuh bersamaan dengan beranjaknya binatang-binatang siang kembali keperaduan. Lalu daerah ini serta-merta menjadi ramai dengan alat-alat musik, sound system diskotik dan kafe-kafe, gelak tawa pramu wisata dan orang-orang asing serta juga orang-orang Bali yang baru saja melepas tidur siang.
Sungguh subyektif bayangan diotak saya tentang kadaan Udayana dus bakal berakhir seperti Kute Bali yang pernah di Bom Amroni dan kawan-kawannya. Mungkinkah akan demikian? Jawabnya memang sangat mungkin. Apalagi peluang yang ditawarkan Udayana saat ini cukup representatif untuk itu. Jalan Udayana yang langsung tembus dengan bandara selaparang menjadi alasannya. Udayana akan menjadi tawaran awal pariwisata Lombok karena Selaparang saat ini bahkan hingga beberapa tahun kedepan masih tetap menjadi pintu masuk utama. Kata anak-nak muda yang lagi kasmaran “cinta jatuh pada pandangan pertama”. Tentu saja Udayana akan menjadi senjata penarik pariwisata yang paling ampuh setelah Senggigi dan beberapa daerah wisata lainnya di pulau Lombok.
Bayangan saya selanjutnya, Udayana akan menjadi ikon baru bagi pulau Lombok sebagai pengganti “Seribu Masjid” yang memang menurut saya sudah usang dan membuat kita “malu-maluin” saja. Sejatinya pulau Lombok di sebut “Seribu Masjid” karena memang banyak masjid berdiri di daerah ini. Tapi berbalik tegas dengan ikon itu, aksi-aksi kejahatan juga tambah marak, perkosaan dimana-mana, pencuri ayam,sapi sampai uang negara juga tambah banyak, prostitusi semakin ramai, alkohol dan obat-obat terlarang juga tidak sedikit. Walhasil, wajar jika ada selentingan terdengar ikon “seribu Masjid” ditambah-tambah dengan “sejuta maling” atau bahkan “ sejuta WTS”.
Saya juga pernah larut dalam hiruk pikuk kehidupan jalan Malioboro di Yogyakarta, lantas saya berfikir tiga tahun mendatang Udayana mungkin saja akan demikian. Malioboro dan Udayana sama-sama berada tepat di tengah kota. Lintasan jalan yang hanya satu tentu membawa keramaian yang ‘sangat’. Seperti halnya Udayana, Malioboro juga telah membuat Jogja melejitkan dunia pariwisatanya setelah ikon-ikon lain seperti Kraton Yogya, pantai Parangtritis atau Pasar kembangnya (SARKEM).
Saya juga pernah bergelut lama di dunia remang-remang Simpang Lima di Semarang. Betapa Chiblek-Chiblek (sebutan dari pedagang teh poci yang aduhai!) berhasil menarik sebegitu banyak orang berkumpul dikedainya tak lebih dari sekedar minum kopi atau teh poci panas di tambah dengan kerlingan mata bundar si penjual. Saya lantas membayangkan Udayana akan berakhir seperti itu.
Atau juga saya pernah coba-coba lihat kehidupan malam areal prostitusi Dolly di Surabaya yang tenang, damai dengan bertabur cinta di setiap rumah yang ada. Lantas saya melayangkan bayangan kesana.
Entahlah, jalan Udayana yang sekarang kita punyai akan terkonstruksi seperti, Kute di Bali, Malioboro dan Sarkem di Jogja, areal simpang lima di semarang atau seperti areal Dolly di Surabaya. Itu hanyalah bayangan saya yang sarat dengan kemungkinan-kemungkinan.
Namun yang jelas semua itu bisa saja terjadi? Jika tidak tiga tahun, mungkin lima atau sepuluh tahun mendatang. Kata orang Batak “tergantung Sopirnya”, para penumpang tingal manut dan nurut aja mau dibawa kemana oleh si sopir. Sopirnya Walikota Mataram tentu! Tapi yang harus diingat, undang-undang “tergantung sopir” hanya berlaku bagi kendaraan pribadi, lain ceritanya jika yang dikendarai adalah bemo kuning atau bus antar kabupaten yang penumpangnya masyarakat umum? Pastinya giliran si penumpang yang mengatur sopir, “tergantung penumpang” mau dibawa kemana?
Yang ingin saya katakan, Udayana bukan milik segelintir orang, tapi miliknya masyarakat Nusa Tenggara Barat secara umum seperti bemo. Jadi semua masyarakat berhak menentukan akan kemana arah Udayana tiga, lima, atau sepuluh tahun mendatang?
Saya sebagai penumpang pertama menginginkan Udayana dibawa kearah yang lebih baik, berbudaya dan beradab. Keinginan saya Udayana tidak sekedar areal taman tongkrongan anak muda yang gandrung modernitas tapi lebih dari itu sebagai areal pendidikan, pemberdayaan kesenian masyarakat dan yang paling penting adalah sebagai alat memelihara budaya lokal.
Anda mungkin pernah nongkrong untuk sekedar minum kopi di warung Koboi seputar Malioboro Djogja. Kita menyaksikan hal yang luar biasa. Disitu para pegiat seni berkumpul dan menghibur. Terdapat yang melukis, ber-teater, berdiskusi, tadarus puisi, atau sekedar menyampaikan lantunan syair malam cermin kebanggaan pada budaya sendiri. Maka tak heran jika Malioboro Djogja telah menghasilkan banyak seniman handal semisal Sutardji Chalzom Bachri, Rendra atau Taufik Ismail. Malioboro tennyata memberi mereka Inspirasi berkarya dan menulis.
Bagaimana dengan Udayana kita? Gambaran saya, cukup mengkhawatirkan. Disitu kita akan saksikan anak-anak muda beraktifitas lumayan hedonis. Pacaran, hura-hura, balap-balapan sepeda motor, ngeceng dengan tampilan mode busana dan mobil terbaru, dan yang paling mengiriskan Udayana mulai diwarnai transaksi-transaksi gelap barang haram ganja dan gadis penghibur. Sebegitukah?
Lagi saya ingin bertanya, akan dikemanakan udayana tiga,lima atau sepuluh tahun mendatang?
Ditengah gencarnya arus budaya luar yang datang ke NTB, patut kiranya pemerintah dan masyarakat mulai merencanakan prospek Udayana kedepan agar tak sekedar menjadi areal pariwisata yang orientasinya tidak jelas. Kebudayaan NTB hari ini tengah terancaman hilang. Patutlah kiranya Udayana sebagai bagian dari agenda pemerintah memelihara budaya lokal kita. Betapa bahagianya jika Udayana justru menjadi ikon budaya kita yang amat kaya dengan kreatifitas ini, dan bukan justru menjadi pemasok budaya luar yang mengancam budaya NTB kian hilang.[]

Zaman Pendekar Sudah Lewat!
Oleh : Jhelly Maestro

Sedikit kita balik lembar sejarah. Sebelum nusantara ini bernama Indonesia, kita berbentuk kerajaan-kerajaan yang menyebar. Saat itu belum ada pistol, bom apalagi senjata nuklir. Yang ada adalah jurus-jurus silat dan mantra-mantra sakti yang bisa bikin tubuh kebal bahkan bisa terbang. Selain kerajaan, konon ditengah masyarakat ada yang disebut pendekar. Mereka memilki ilmu yang tinggi, jago pilih tanding, disegani lawan dan disenangi teman.
Diantara pendekar-pendekar itu ada yang disebut pendekar berilmu hitam dan putih untuk menggambarkan pendekar berwatak jahat dan baik. Mereka saling basmi satu sama lain, sama-sama ingin berkuasa. Sehingga kehidupan konon seperti rimba belantara dimana hukum yang berlaku “siapa yang kuat dialah yang menang”.
Akhir-akhir ini didaerah kita NTB, suasana -dunia kependekaran- ini menjadi marak lagi. Berbagai aksi kekerasan dipertontonkan terang benderang. Di Lombok Barat kita disuguhi aksi penyerangan Jema’at Ahmadiyah, di Lombok Tengah kita saksikan masyarakat saling serang antar kampung. Kemudian di Mataram baru saja terjadi, mahasiswa dibunuh oleh penjaga kampus berwajah “preman”. Semua kejadian Ini menimbulkan korban, baik jiwa maupun harta.
Soo.. hukum itu jadi ‘in lagi, “siapa yang kuat dialah yang menang”, rupanya kita lupa bahwa hari ini kita tengah berada di zaman yang demikian berbeda. Hukum Tarzan itu telah lama tergantikan oleh hukum modern bernama Undang-Undang Dasar yang memuat Hak Asasi manusia, toleransi, musyawarah dan pluralisme. Jadilah saat ini hukum berlandaskan kemanusiaan, memberi ruang bagi orang lain untuk hidup, berkreasi serta menikmati kenyamanan dan keamanan.
Kata kuncinya adalah, saling memahami. Segala persoalan semestinya tidak diselesaikan dengan “otot” tapi “otak”. Berfikir yang sehat dan rasional untuk mencapai kebaikan bersama. Saya kira tidak ada salahnya kita luangkan waktu beberapa detik atau menit saja untuk berdialog atau musyawarah daripada kita marah-marah, saling serang, saling tusuk bahkan saling bunuh. Terlalu na’if, kemarahan atau emosi jelas-jelas menimbulkan permasalah baru maka semestinya kita tanggalkan dan mendahulukan hati dan otak yang rasional dan cerdas.
Bukankah Nabi telah jauh-jauh hari mewanti-wanti “Ummatku jangan kamu marah!”. Berkali-kali rasul mengulanginya “jangan kamu marah-jangan kamu marah”! karena marah selamanya tidak akan pernah menyelesaikan masalah.
Nyaris setiap hari di koran, majalah, televisi, radio, internet kita mendengar dan menyaksikan aksi percekcokan, pertengkaran, bentrokan, perusakan dan lainnya sebagainya. Sepertinya hanya itu saja yang bisa dikerjakan penduduk negeri ini. Kekerasan yang kerap menjadi embel-embel setiap kejadian itu membuat kita bosan hidup. Seakan yang ada di dunia ini hanya kekerasan, kekerasan dan kekerasan. Kehidupan manusia seakan hanya mempunyai musuh dan lawan, sementara kawan, sahabat apalagi saudara “nol”. Dus yang terjadi permusuhan, saling menyalahkan, saling serang bahkan saling bunuh tiada henti.
Apakah kita tidak jenuh? Apakah kita tidak punya kebutuhan yang lebih urgen daripada pertengkaran-pertengkaran dan aksi kekerasan itu? Atau memang kita lebih suka pertengkaran daripada duduk bersama berbicara dari dari hati ke hati, melihat persoalan secara jernih dan berdialog dengan akal yang sehat wal’afiat?
Konflik memang tak selamanya buruk. Ia menjadi ruang dialektika manusia menciptakan keadaan yang lebih baik. Semua agama juga mayoritas lahir dari konflik. Islam dengan Muhammad lahir ditengah konflik peradaban antara Muhammad sendiri dengan jahiliyah Makkah, Kristen juga lahir dari kegelisahan Kristus melihat ketimpangan sosial sehingga mendobrak dengan ajaran “kasih”-nya. Demikian pula dengan Hindu, Budha, Konghucu dan aliran kepercayaan yang lain. Semuanya rata-rata berawal dari konflik.
Namun konflik yang berkualitas hanya bisa terjadi ketika dilakukan tidak dengan “nafsu” pengen menang sendiri, demi kepentingan golongan, demi haknya sendiri kemudian memperkosa hak orang lain.
Adalah kenyataan bahwa semua kita merasa paling benar. Tapi kita lupa bahwa pada diri orang lain juga terdapat kebenaran versi mereka, maka ini juga kenyataan. Ketika kebenaran sendiri itu dipaksakan pada orang lain tentu saja akan terjadi konflik yang akhirnya sama-sama ingin keluar sebagai pemenang.
Inikah yang kita ingini? Inikah yang akan kita lakukan terus menerus tanpa henti?. Tidakkah kita sadari bahwa dalam hidup ini yang kita butuhkan adalah kenyamanan, kedamaian dan ketentraman? Maka mengapa kita selalu saling menyakiti, saling rusak dan saling hanguskan?
Pertanyaan-pertanyaan dari nurani kemanusiaan ini menjadi penutup narasi kekerasan yang tengah dipertontonkan di tengah-tengah kita. Entah kita akan menjawab jujur “kita bosan kekerasan” ataukah kita akan tetap membohongi diri “suka kekerasan”. Entahlah! Mari kita sama-sama berfikir untuk kehidupan yang lebih harmonis. []

Maulid; Satu lagi Islamisasi Tradisi
(Counter Diskusi Mimbar Jum’at Bersama Ustadz Patompo, LC)
Oleh: Jhelly Maestro

Bulan-bulan ini masyarakat tengah disibukkan dengan satu tradisi penting dalam Islam bernama Maulid Nabi-atau dalam bahasa Sasak disebut Mulud. Perayaan Maulid ini dimaksudkan untuk memperingati hari lahirnya Nabi Muhammad yang jatuh pada 12 Rabi’ul Awal dalam hitungan tahun Hijriyah.
Khusus untuk tradisi masyarakat Lombok, perayaan Maulid tidak hanya dapat dilakukan pas hari-H itu saja, tapi tetap bisa dirayakan sepanjang bulan Rabi’ul Awal belum usai. Maka tak heran walaupun 12 Rabi’ul Awal telah dua minggu berselang, masih saja terdapat masyarakat yang memperingatinya seperti yang dilaksanakan masyarakat Kelurahan Dasan Agung Mataram beberapa hari ini.
Untuk masyarakat Lombok, selain memperingati Maulid Nabi dengan membentuk halaqoh-halaqoh pengajian di masjid-masjid, juga yang tak dapat dipisahkan adalah tradisi Ruah atau Ruah Mulud. Ruah Mulud ini biasanya diapilikasikan dalam bentuk ngumpul bersama atau pesta kecil-kecilan dengan mengudang sanak kerabat dan tetangga-tetangga dekat. Bahkan untuk masyarakat yang terbilang mampu, selain mengundang kerabat dekat mereka juga mengundang fakir miskin dan anak yatim makan-makan di rumahnya.
Tradisi Ruah Mulud bagi masyarakat Sasak umumnya dimaksudkan sebagai wujud cinta kepada Rasululah SAW serta aplikasi syukur atas kelebihan yang diberikan Allah berupa harta. Walaupun memang terdapat beberapa masyarakat yang dengan tradisi Ruah Mulud menyimpan maksud kurang baik seperti mencari popularitas dan sanjungan masyarakat yang lain, tetapi itu tak seberapa jika dibandingkan dengan jumlah masyarakat yang melaksanakannya dengan ikhlas, beramal soleh, sebagai aplikasi kepedulian terhadap fakir miskin.
Sungguh ambivalen dengan cerita Ustadz Patompo Adnan, LC di Mimbar Jum’at 21 April lalu yang aktif dimuat di harian ini. Menurut ustadz Patompo, justru acara Roah Maulid telah menimbulkan sisi negatif yang menurutnya sangat serius. Konon salah seorang kerabatnya berhutang hingga satu juta rupiah hanya untuk merayakan maulid. Bahkan tambah ustadz, pamannya tergopoh-gopoh ke toilet karena mules sehabis menyantap hidangan Ruah Mulud itu.
Bagi saya, cerita ustadz Ptompo itu hanyalah segmen cerita sedih dibalik setumpuk cerita menarik Ruah Maulid. Saya juga punya cerita lebih menarik yang terjadi di masyarakat saya di Lombok Tengah, dimana setiap menjelang Rabi’ul Awal-khususnya mereka yang secara ekonomi dibawah rata-rata- akan sangat senang karena orang-orang yang terbilang kaya didesanya, biasanya akan mengadakan pesta Ruah Mulud yang membuat mereka bisa mengganjal perut barang dua-tiga hari. Bahkan tidak sedikit masyarakat yang telah berfikir lebih baik, Ruah Mulud diwujudkan dengan membagikan sedikit uang untuk sekedar membantu biaya keluarga miskin membeli baju sekolah untuk anak-anaknya.
Saya tidak habis fikir, manakala sebagian kita justru mempertanyakan substansi Maulid yang bersamaan dengannya mengaburkan makna maulid itu sendiri. Tentu saja seperti yang terjadi didaerah saya, korelasi positif antara perayaan maulid dengan Ruahan-nya amat sangat jelas erlihat. Ia sarat dengan nilai-nilai sosial sekaligus keislaman. Katakalah misalnya ungkapan semangat para dermawan didaerah saya yang mengatakan ingin menghidar dari kecaman Allah yang berbunyi “ara’aita al-ladziy yukadzzibu bi al-addin, fa dzalika al-ladziy yadu’ul al-yatim, wa la yahudldlu ‘ala tha’am al-miskin….” [tahukah kamu siapakah orang-orang yang mendustakan agama? Merekalah orang-orang yang tidak peduli terhadap anak yatim, dan tidak sungguh-sungguh memecahkan persoalan makan (kebutuhan hidup pokok) bagi orang-orang miskin….”] (Al-Ma’un : 1-3)

Islamisasi Tradisi; Mesranya Islam dengan Nilai Lokalitas

Apa yang ingin saya katakan bahwa, tradisi Maulid Nabi disertai acara Ruahan sebetulnya telah menyentuh esensi keislaman, dimana syari’at dapat bercengkrama dengan nilai lokalitas. Atau dalam istilah yang lebih populer kita kenal dengan islamisasi tradisi atau tradisi yang diislamkan.
Dalam sejarah perkembangan Islam di Indonesia, kita akan menemukan banyak model Islamisasi tradisi macam begini yang dilakukan oleh penyebar-penyebar Islam pertama terutama di pulau Jawa. Sebutlah misalnya tradisi wayang, gamelan dan bedug. Ketiga tradisi ini dapat terbukti sukses menjadi medium strategis dakwah Walisongo dalam penyebaran Islam. Wayang tidak lagi berbicara tentang dunia dewa-dewa, tapi secara progresif berangsur diisi tauhid serta pelaksanaan syari’at. Bedug tidak lagi menjadi simbol spritualitas lokal sebagai pertanda terjadinya bencana atau lainnya tapi digubah menjadi pertanda waktu sholat telah tiba.
Tindakan Walisongo dalam mengislamkan tradisi orang-orang Jawa tentu saja berangkat dari ajaran Islam sendiri yang bersifat dinamis bahkan elastis (solih Kulli zaman wa makan). Sifat dinamis inilah yang kemudian mencatat sejarah bahwa Islam adalah satu-satunya agama di dunia ini yang mengalami populasi paling singkat dengan angka sangat fantastis.
Bayangkan saja misalkan, jika Islam tidak memiliki semangat dinamis, apa yang akan terjadi di Rusia ketika islam mulai masuk disana sekitar abad XI. Orang-orang rusia sangat akrab dengan alkohol sehingga untuk berpisah dengannya butuh waktu yang cukup lama. Islam ketika berupaya dapat bercenkrama dengan tradisi atau budaya Rusia saat itu, sehingga proses pengharaman terhadap alkohol-pun dilakukan berangsur-angsur.
Islamisasi tradisi yang terjadi dalam proses penyebaran Islam di Jawa dan Rusia sebetulnya adalah kontinuitas dari tanggungjawab keberlangsungan tradisi dakwah yang dilakukan Rasulullah di Makkah dan Madinah pada masa kenabian dimana Rasulullah dengan sangat istiqomah berdakwah dengan memperhatikan nilai-nilai lokalitas jahiliyah saat itu..
Terapalagi jika kita telusuri latar belakang sejarah turunnya Al-Qur’an (Asbab An-Nuzul) maka akan dapat disimpulkan bahwa proses perselingkuhan positif antara petanda-petanda (ayat-ayat) sosial dengan wahyu berupa ayat-ayat ketuhanan terus berlangsung dan menemukan performa terbaiknya ketika Muhammad berhasil dengan dakwahnya di Madinah. Dengan bahasa lain, Tuhan peka dengan persoalan sosial yang ada.. Sehingga Rekaman proses turunnya Al-Qur’an secara berangsur-angsur juga ditegaskan sebagai bagian dari perhatian Tuhan untuk selalu mengkondisikan wahyu yang selalu kontekstual dengan nilai-nilai lokalitas dan kemanusiaan (Ushul Fiqh-Wahab Ibn Khalaf).
Maka sinergis dengan semangat Al-Qur’an dan Muhammad sebagai perantara tunggal dan Maulid sebagai napak tilas sejarah serta roahan sebagai kearifan lokal/tradisi masyarakat Sasak menjadi refleksi yang terus berlangsung. Apa yang dilakukan dalam tradisi Roah Mulud di Lombok saya rasa adalah kreatifitas tradisi lokal yang baik dimana hubungan vertikal (Tuhan) serta hubungan horizontal (makhluk,manusia) berjalan bijaksana dalam konteks Islam yang dapat berdinamisasi dengan zaman dan tempatnya atau bahasa pesantrennya sholih kulli makan wazamanin
Jelasnya, saya juga amat tidak setuju jika maulid di refleksikan dengan hambur-hambur uang karena hal itu adalah benar termasuk perbuatan setan (mubadzir). Tapi saya lebih tidak sepakat jika kemudian perayaan Maulid yang sungguh-sungguh dirayakan dengan iklas dikendorkan dengan kritik-kritik yang tak subtantif.
Bagi saya sebuah tradisi lama yang masih baik perlu dipertahankan dan “dibuang sayang”, tapi kita juga tentu harus membuka diri untuk mengambil tradisi baru yang lebih baik. “Almuhafazatu Ala Qodimil Sholih Wal Akhdzu Ala Jadidil Aslah” (memelihara tradisi lama yang baik dan mengambil tradisi baru yang lebih baik). Wallahu A’lam

Demokrasi Pelosok
Oleh: Jhelly Maestro

Hape saya sudah lima kali kedatangan Sort Massage Service (SMS) hari ini. Istimewanya, disamping SMS itu datang atas nama keluarga besar saya juga karena masing-masing dari orang yang beda-beda. Pertama dari ibu, paman lalu misan, bibi dan terakhir dari bapak saya. Isi kelima SMS itu bukan pesan keluarga bahwa ada sanak-saudara yang sakit atau meninggal seperti biasanya, tapi perintah untuk segera pulang kampung karena pemilihan kepala desa akan digelar besok harinya dan saya diingatkan punya suara satu.
Saya geleng-geleng kepala dan mencoba memahami mengapa mereka begitu antusias dalam pemilihan kepala desa tahun ini. Bahkan SMS terakhir dari bapak saya bernada mengancam “Sebole dengan bole kamu harus pulang, ini masa depan desa, saya fikir kamu sudah dewasa” kira-kira begitu isi SMS bapak saya.
Tidak hanya saya yang mengalami hal ini, teman-teman sekampus saya juga punya cerita yang sama. Mereka bahkan ada yang jauh-jauh hari sudah pulang kampung sebelum hari-H pemilihan digelar.
Bagi orang desa yang hidup tahun 2006 ini, pemilihan kepala desa (pilkades) bisa jadi adalah sebuah arena demokrasi paling nyata. Dalam proses pilkades terjadi kompetisi yang bebas, partisipasi masyarakat yang jauh lebih besar ketimbang tahun-tahun sebelumnya. Pemilihannya juga diselenggarakan secara langsung dengan sistem One Man One Vote.
Tetapi di banyak desa, pilkades yang demokratis itu tak urung harus dibayar dengan harga yang tinggi. Kekerasan meledak ketika kubu yang kalah melampiaskan kekecewaaannya. Tidak hanya kekerasan fisik berupa perusakan dan pembakaran tapi juga kekerasan psikologis dengan merebaknya dendam personal dan komunal antar masyarakat yang sebetulnya bertetangga bahkan masih ada ikatan keluarga.
Satu bulan terakhir saya lumayan aktif membaca koran, dan saya melihat eskalasi kekerasan yang mewarnai pilkades di beberapa kecamatan di Indonesia memang sangat tinggi. Bahkan beberapa hari lalu di tiga kolom yang berbeda sekaligus saya menyimak tiga prosesi pilkades ditiga desa di Lombok Tengah mendapat giliran rusuh.
Ironisnya kejadian ini berlangsung seperti drama yang naskahnya sudah dipersiapkan sebelumnya. Walaupun aparat kepolisian melakukan penjagaan, sepertinya tidak ada pengaruh, hingga kerusuhan itupun berlangsung dengan sangat “sukses”.
Melihat fenomena kekerasan yang mengiringi Pilkades ini, apa yang bisa kita komentari? Sayapun membuka-buka draft Undang-undang Nomor 22 tahun 1999 tentang otonomi daerah serta juga draf tata cara pelaksanaan pilkades yang dikeluarkan pemerintah Kabupaten beberapa waktu lalu. Saya berharap menemukan jawabannya sisitu, barangkali ada peraturan yang janggal atau salah. Dan ternyata tidak ada, secara konstitusional Pilkades dirancang pemerintah dengan prinsip yang sangat demokratis. Disitu misalkan disebutkan pemilihan dilaksanakan secara langsung, jujur dan adil serta melibatkan masyarakat secara penuh. Ditahap praksisnya sayapun melihat, pilkades berlangsung dalam suasana fair. Ditambah dengan pemandangan antusiasme ribuan masyarakat yang tidak lagi hanya jadi penonton tapi aktor sekaligus.
Namun mengapa Demokrasi Pilkades itu diwarnai kekerasan? Apakah demokrasi memang cenderung mengakibatkan permusuhan? Atau ini karena “miskinnya” pemahaman masyarakat pelosok tentang demokrasi itu sendiri?.
Untuk sementara waktu banyak masyarakat yang memberi jawaban dengan Asumsi terakhir. Karena kelompok yang kalah dinilai gagal menjadi good Looser atau menerima kekalahan secara sportif. Namun masyarakat lainpun menyangsikan Karena kekerasan dalam pilkades, sebetulnya dipengaruhi banyak faktor termasuk sorotan pada kebijakan struktural pemerintah yang kurang tepat.

Demokrasi Liberal Versus Demokrasi Pelosok
Pertama-tama saya ingin mengatakan jauh sebelum konsep demokrasi liberal dirumuskan para pakar politik, sebetulnya masyarakat desa sudah punya sistem demokrasi tersendiri yang saya sebut demokrasi pelosok. Demokrasi pelosok adalah sebuah sistem demokrasi yang menitikberatkan pengambilan keputusan berlandaskan kearifan lokal masyarakat setempat. Beberapa yang dapat kita kenang misalnya tradisi Rembug di jawa, Begundem di Lombok atau budaya Beriuq di Kalimantan.
Beriuq, Begundem atau Rembug adalah proses musyawarah yang sangat demokratis, semua elemen masyarakat desa diundang terutama yang dianggap tetua desa, mereka bermusyarah secara tradisonal dan mencapai kata mufakat dengan sangat baik. Dalam sistem ini, yang berlaku adalah kontrak sosial berupa tata krama, tata susila dan tata cara sebagai rule of law yang harus diikuti oleh setiap warga.
Tata krama dan tata susila menjadi sebuah kearifan lokal dalam konteks demokrasi yang menjunjung tinggi toleransi, kesantunan, kebersamaan dan lainnya. Sementara tata cara menjadi sebuah aturan yang mengatur mekanisme pemerintahan, pembagian waris, mengatasi persoalan tanah, pengairan dan sebagainya.
Secara aplikatif, hal ini terpraktekkan sempurna semisal dalam pemilihan lurah. Para tetua desa, tokoh masyarakat dan para kepala keluarga berkumpul mengadakan musyawarah sederhana untuk mewadahi seluruh aspirasi masyarakat tentang siapa lurah yang akan dipilih. Jika proses musyawarah berjalan alot dan menyita waktu berhari-hari, maka secara spontan ibu-ibu akan memfasilitasi pembiayaan pemilihan lurah dengan gotong royong atau masak bergiliran. Ketika acara makan-makan berlangsung, suara-suara aspirasipun terus mengalir dan menambah susana kekeluargaan yang sangat kondusif.
Tapi zaman terus bergerak dan berubah. Modernisasi hadir secara serentak dan mulai mengenalkan masyarakat tentang konsep demokrasi baru yang kita sebut demokrasi liberal. Masyarakat juga dikenalkan dengan berbagai macam lembaga desa yang juga baru seperti BPD dan lainnya. Modernisasi ini masuk seakan tanpa aling-aling sekaligus filter dari masyarakat sendiri. Sehingga memorak-porandakan demokrasi pelosok yang berbasiskan kearifan lokal itu. Ia segera tergantikan dengan sistem demokrasi liberal termasuk yang kita lihat sekarang, pemilihan secara langsung dan partai-partai politik masuk ke desa dengan bebas.
Tentu saja hadirnya demokrasi liberal ditengah masyarakat ini tidak bisa dipisahkan dengan terbitnya Undang-undang nomor 22 tahun 1999 tentang otonomi daerah. Undang-undang yang semula diciptakan untuk tujuan terbangunnya sistem demokrasi yang total dari pusat hingga desa ternyata justru menjadi biang keladi kerunyaman demokratisasi itu sendiri.
Dalam memberlakukan undang-undang itu pemerintah juga sepertinya terlalu sporadis dan “memaksa” serta tidak mempertimbangkan kemampuan sistem demokrasi lokalitas yang sudah ada.
Resiko langsung dari “pemaksaan” Undang-undang ini dapat kita saksikan dengan terganggunya relasi sosial masyarakat desa yang kadung telah baik. Kemenangan seorang kandidat kades yang sangat ditentukan oleh dukungan suara individu mengakibatkan polarisasi dibasis-basis komunal. Jadilah, pergolakan politik tidak hanya melibatkan aktor-aktor kandidat kades tapi melebar ke konflik antar kampung dan antar individu dan secara otomatis merusak hubungan kekeluargaan, kekerabatan ataupun ketetanggaan.
Selain problem relasi sosial itu, uang juga menjadi masalah tersendiri dalam pilkades. Setiap calon kades bisa diyakini mengeluarkan uang yang tidak sedikit. Minimal, sekitar dua bulan penuh, calon kades harus mengeluarkan “biaya operasional” untuk jamuan, uang makan, rokok, bensin dan lain-lain.
“Biaya operasional” ini dianggap sebagai kewajaran, yang secara diam-diam juga dimanfaatkan oleh warga desa. Banyak warga yang bertandang ke rumah calon kades untuk sekadar cari rokok dan makan. Ini riil. Kalau ada calon kades yang tidak melakukan open house bisa dipastikan dia tidak akan didukung. Bentuk uang lainnya yang kotor adalah praktek politik uang yang dikeluarkan oleh calon kades untuk membeli suara pemilih. Bisa berbentuk sumbangan pembangunan fasilitas kampung atau sembako seperti beras, gula, supermi bahkan kain sarung.
Politik uang ini bukan peristiwa asing lagi karena terjadi di banyak desa. Karena uang memegang peran penting dalam pilkades, maka sekarang banyak kades yang menolak peraturan pembatasan jabatan kades hanya lima 5 tahun, tapi 6 tahun, sebab masa yang pendek ini belum cukup untuk mengembalikan modal suksesi yang telah dikeluarkan
Apakah perpecahan antarwarga, konflik, dan politik uang yang cenderung muncul dalam pilkades di beberapa desa akan begitu saja dibiarkan? Tentu saja tidak. Kalau mau ditangani bagaimana caranya? Yang paling ekstrem menurut saya, adalah mengembalikan lagi model demokrasi liberal “Undang-undang” itu menjadi model demokrasi pelosok. Gampangnya, kepala desa tidak lagi dipilih secara langsung tetapi dihasilkan melalui proses dialog yang sarat dengan tradisi-tradisi lokalitas seperti rembug, Begundem atau Beriuq.
Saya fikir sudah saatnya memberikan kemandirian bagi masyarakat desa untuk memilih madzhab demokrasinya sendiri. Jika tidak, maka kita telah merusak tatanan yang sudah nyaman menjadi tidak nyaman, yang bertetangga menjadi musuhan dan yang berkeluarga menjadi pecah belah.[]

Wajah Fundamentalisme
Dibalik Penolakan ATM Kondom


Oleh : Jhelly Maestro

Tentu satu hal yang amat arif ketika seseorang tidak misuh-misuh (marah-marah) karena disebut fundamentalis ataupun liberalis.
Dua ideologi yang cukup mempengaruhi reaksi kita pada hal-hal yang amat kecil sekalipun. Ya , ATM Kondom itu misalnya.

Kata ‘fundamentalis’ sejatinya adalah sebutan bagi orang-orang yang mooh atau ogah atau alergi dengan modernisasi, lalu dengan membanting wajah, mereka bermaksud kembali ke asas atau dasar, baik dasar agama, budaya, atau lainnya. Kemudian Liberalis adalah sebutan bagi orang-orang yang cenderung menerima modernisasi, menerima sistem yang berstandar nilai kepantasan dan aktif berinteraksi dengan perangkat-perangkat modernisasi baik berupa teknologi ataupun yang bersifat kehidupan sosial (social life).
Tolakan orang-orang fundamentalis pada modernisasi bisa kita lihat pada Aksi-aksi terorisme yang dilakukan kelompok ini di belahan dunia barat dan timur. Serangan 11 September di Amerika, Serangkaian peledakan bom di Indonesia seperti Bali, Mariot Dll, terakhir bom London dan Mesir yang terjadi beberapa hari lalu. Ini semua adalah nyata-nyata bentuk penolakan modernisme itu. Cukup beralasan karena aset-aset yang di bom atau diserang adalah simbol-simbiol modernisasi seperti Mall, Hotel, Tempat-tempat hiburan dan kantong-kantong militer.
Tolakan semacam aksi terorisme ini barangkali terlalu besar untuk menggambarkan wajah fundamentalis di NTB, cukuplah beberapa hal substansi yang terjadi tiga tahun terakhir menjadi gambaran riil di daerah ini . Wacana pemberlakuan perda anti maksiat di Mataram, Pemberlakuan syari’at Islam di Lombok Timur dan terakhir penolakan ATM kondom, wajah kita ternyata masih terlalu fundamentalistis dalam pandangan yang lebih elegan dan toleran.
Aksi organisasi islam terbesar di NTB Nahdlatul Wathan yang berstatemen keras menolak keberadaan ATM tersebut tidaklah cukup ilmiah untuk diperdebatkan, karena tidak dilakukan pengkajian dan pemikiran yang mendalam. Bagi saya aksi penolakan ini adalah tindakan ‘ceroboh’. Saya melihat aksi penolakan ini lebih dikarenakan rasa ‘tabu’ terhadap seks termasuk kondom dan sifatnya adalah ke-tabu-an pribadi (personal) semata bukan ketabuan kolektif. Namun ‘Sialnya’ rasa ‘tabu’ pribadi ini kemudian disembunyikan dan agama dimunculkan sebagai dalih strategis pembenaran statemen penolakan tersebut.
Tidak adil rasanya ketika agama diinterpretasi sembarangan (pasnya diplintir) oleh sekelompok orang saja dan kemudian dipaksakan untuk diterima banyak orang, agama adalah milik kita semua. Menginterpretasikan ATM Kondom tentu bukan saja hak sekelompok orang, tak peduli apakah kelompok tersebut ulama, Tuan Guru atau kiyai yang berada dipihak yang menolak tapi hak interpretasi juga berada di pihak yang menerima. Bearada di pihak ini para pekerja seks seperti WTS, Gigolo, Pramuria bahkan diantara sekian banyak Pasangan Suami-Istri (pasutri) yang mendambakan hidup harmonis saya yakin termasuk di kelompok ini. Bahkan menurut saya yang diam sekalipun tetap punya akses untuk menginterpretasi ATM Kondom tersebut.
Satu yang tampak dalam kasus penolakan ATM Kondom oleh Ulama NW ini, agama terkesan telah dipolitisir untuk kepentingan pribadi dalam hal ini mempertahankan ke-tabu-an personal tadi. Ke ranah yang lebih besar kesan yang muncul adalah penolakan terhadap aset dan produk barat. Oleh kelompok islam fundamentalis isu menolak produk barat ini memang telah dikampanyekan lama bahkan habis-habisan. Masih ingat, beberapa produk barat seperti KFC, Coca Cola dan McD tahun sebelumnya pernah diusulkan agar di boikot karena merasa benci dengan barat (baca:boikot produk USA).
Tapi apa lacur kenapa hanya KFC, Coca Cola, McD atau ATM Kondom yang di tolak sementara perangkat-perangkat modernisasi yang lain di terima. Sebut saja handphone (HP) dan Komputer, kenapa teknologi-tekhnologi pendukung aktifitas ini tidak ditolak bahkan secara riil harus di akui konsumsi produk ini justru lebih prospek di negara-negara yang berpenduduk islam besar seperti Indonesia. Rasanya kok terjadi penolakan setengah-setengah.
Satu hal lagi mungkin, wacana-wacana modernisasi seperti liberalisasi, demokrasi, gender, emansipasi, nikah beda agama juga di tolaknya mentah-mentah tanpa reserve alasannya tentu karena wacana-wacana tersebut adalah produk barat oriented. Namun kenapa televisi digunakan, rasionalkah?
Tentu penolakan ATM kondom yang lakukan saudara-saudara saya di Nahdlatul Wathan mendapat kesan yang sama dan yang pasti klaim fundamentalis tak urung harus dialamatkan karena dalam beberapa statemen penolakannya terkesan sangat agamais.
Tapi okelah jika agama harus dipaksakan untuk berbicara masalah ATM kondom itu, maka pertanyaan fundamental -pasnya kaum fundamentalis- yang dapat diajukan adalah apa hukumnya ATM kondom? Ada gak dalam sunnah nabi? Kalau gak ada bisakah dikatakan bid’ah? Atau pertanyaan yang lebih progresif, Sejauhmana Kebaikan (maslahah) dan kejelekan (Mafsadat)-ATM Kondom itu? Apa solusinya jika tidak memakai ATM Kondom, Bagaimana jika kita tidak pakai kondom dalam bersetubuh? Apakah ini tidak akan menstimulasi peminat seks bebas?
Pertanyaan-pertanyaan lain bisa diajukan kemudian, hanya saja tulisan ini bukanlah bahstul masa’il yang memerlukan ‘bongkar-pasang’ kitab kuning ataupun kitab putih. Oleh karenanya saya lebih ingin kongkrit saja dan mengambil metode pengambilan (istimbath) hukum Imam Syafi’i yang konon di madzhabi kaum nahdlatain (dua dahdatul: NW dan NU).
Dalam kitab Ar-Risalah, imam Syafi’i memasukkan 4 tahapan pengambilan (Istinbath) hukum yang dipakai. Yaitu Alqur’an, Al-Hadis, Ijma’ (Konsensus) dan Qiyas (analogi),
Ada empat lagi tahapan yang lain namun cederung di pinggirkan adalah Qaul As-Shabi (perkataan shabat), Urf (budaya/Adat), Istihsan (menganggap baik), Maslahatul Mursalah (positif-negatif).
Menurut Imam Syafi’i keempat tahapan istinbath itu harus diterapkan secara tartib (berurutan). Prosesnya jika dalam Al-qur’an tidak ditemukan jawaban pastinya maka harus dicarikan pemecahannya dalam Hadist Nabi, jika dalam Hadits juga tidak menemukan jawaban maka Ijma Ulama (konsesus) dan Jika Ijmakpun tidak tercapai maka harus menempuh jalan Qiyas (analogi). Empat tahapan lagi sebagai ‘ban serep’ jika qiyas tidak menemukan jalan lagi.
Pada ‘ban serep’ yang empat itu, ada satu tahapan yang barangkali sangat penting untuk kita pakai dalam mengalisis berbagai persoalan modernisasi saat ini yaitu Malahah Mursalah, satu tahapan yang cenderung dipinggirkan Imam Syafi’i. Walaupun demikian dirinya kerap menggunakan tahap ini sebagai pemecahan terakhir sebuah masalah seperti dalam kasus makan babi ketika harus jadi obat atau sebagai penyambung nyawa karena lapar. Atau bolehnya kita berbohong kepada orang yang mau membunuh seseorang yang lari ke arah kita, atau juga membatalkan shalat karena ada si buta yang akan terjerumus kedalam sumur dan Masih banyak lagi.
Terlihat Imam Syafi’i enggan menempatkan Maslahatul Mursalah ini pada urutan awal karena melihat unsur kemudahan yang diutamakan. Walaupun pada akhirnya Syafi’i harus lari ke tahap ini ketika persoalan menemui jalan buntu.
Bahkan jika disimak lebih jauh tentang madzhab-madzhab atau metode-metode pemikiran Islam dari ulama atau intelektual yang lain, baik yang klasik apalagi modern, justru maslahah-mursalah ini dikedepankan sebagai metodologi terbaik dalam penetapan hukum.
Dalam konsep maslahah-mursalah ini terdapat yang dinamakan Maqosid As-Syar’iyah ( Maksud Substansi Hukum). Apa itu Maqosid As-Syar’iyah? Sebetulnya kata ini telah terwakili oleh pemikir-pemikir barat dengan metode hermeneutikanya Derida atau bahkan eksistensialisnya Jean Paul Saltre. Masalah substansi (maqoaid As-asyar’iyah) harus selalu beorientasi perbandingan antara Maslahah (kebaikan untuk ummat manusia) dan Mafsadat/Mudharat (kejelekan).
Yang ingin dicari Maslahatul Mursalah adalah Esensi. Esensi adalah ruh setiap doktrin keagamaan. Menurut Imam Nakhoi pemikir Jaringan Islam Liberal, Maqosidus- Syar’iyah inilah yang harus dicari dalam lipatan-lipatan kitab suci Al-Qur’an. Agar kita tidak sembarangan memberikan tafsir. Oleh karenanya menurut Imam Nakho’i sebenarnya syarat Ijtihad yang paling penting adalah Mengetahui Maqosid As-Syar’iyah itu. Itu saja!
Bagaimana jika kita kembali ke kasus ATM kondom tadi, dengan memakai perangkat istimbath hukum Maslahah Mursalah yang kemudian berujung ke pencarian Maqosid As-Syar’iyah tadi. Apa yang terungkapkan dalam hadis Nabi misalnya tentang larangan mendekati Zina hubungannya dengan memakai ATM Kondom (la taqrabu Az-Zina) sah-sah saja sebagai sebuah doktrin agama. Namun perlu didekati lagi dan dipertanyakamn sejauhmana maslahat-mafsadat (baik/Buruk) keberadaan ATM Kondom tersebut di masyarakat.
Bagi saya, maslahahnya masih lebih banyak daripada mudharatnya atau baiknya lebih banyak daripada buruknya. Gampangnya untuk membuktikan pernyataan ini kita menyusun pertanyaan-pertanyaan. Berapa kira-kira prosentasi anak-anak atau remaja yang beli kondom di ATM tersebut sementara mereka belum menikah secara sah? Lalu berapa kira-kira prosentase kelahiran anak jika tidak memakai alat kontasepsi ini? Kemudian apa solusinya untuk masyarakat yang masih malas memakai kondom, bahkan untuk beli saja malu? Banyak hal yang harus dipertanyakan dan kemudian dijawab tuntas. Sayang sekali tulisan singkat ini hanya bertugas meng-onani saja untuk kemudian dilanjutkan di forum-forum diskusi-diskusi yang lebih besar. Ini lebih baik daripada kita kemaruk memcetuskan statemen-statemen ceroboh yang tidak penting.[]


Pers Mahasiswa Melawan Premanisme
Oleh : Jhelly Maestro

Mailing list (milis) Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) ppminasional@yahoogroup.com dan ppmiforum@yahoogroup.com sejak dua bulan lalu terlihat hiruk-pikuk dengan kiriman e-mail solidaritas dari berbagai Lembaga Pers Mahasiswa se-Indonesia. Hiruk pikuk itu terkait isu bakal di bredelnya Majalah kampus "Dialektika" yang diterbitkan Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta. Kabarnya Unit Kegiatan Pers Kampus itu dilaporkan ke polisi dengan tuduhan pornografi karena memuat design grafis yang cukup vulgar.
Setahun lalu, peristiwa sama dialami majalah Mahasiswa "Advokasia" Fakultas Syari'ah Institut Agama Islam Negeri (IAIN-sekarang UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta. Kali ini "Advokasia" sekedar di panggil pihak rektorat karena menerima Iklan Rokok Sampoerna Mild di sampulnya. Konon terdapat etika akademik kampus yang tidak membolehkan rokok di promosikan di areal pendidikan tinggi itu.
Saat ini, didepan mata kita terdapat Majalah Mahasiswa "Ro'yuna" IAIN Mataram Nusa Tenggara Barat yang mendapat perlakuan sama. Mereka dipanggil pihak Rektorat karena persoalan tulisan "Duit Berlipat Dibalik Nilai Gelap" yang secara serius dianggap fitnah karena menyentil persoalan sensitif perihal keberadaan mafia Jual beli Nilai di kampus ini.
Ada dua substansi pemanggilan kru Majalah Mahasiswa Ro'yuna tersebut oleh pihak Rektorat. Pertama: Pihak Rektorat seakan "tidak menerima" karena penulisan dianggap masih kabur dengan menggunakan inisial-inisial yang sangat interpretatif dan oleh karenanya dianggap telah menimbulkan fitnah. Kedua: Pihak Rektorat "menuntut" kru majalah tersebut menyebut secara jelas siapa-siapa oknum dosen dan mahasiswa dibalik inisial-inisial itu serta bukti-bukti kongkritnya. Ketiga: "Ancaman" Ro'yuna akan menjadi "sasaran serangan" balik dengan opsi tuduhan mencemarkan nama baik (fitnah) yang dapat beresiko diperadilankan atau di-"bredel". Namun sejauh itukah?
Sedikit kita takar nilai penulisan pada majalah tersebut, dari sisi jurnalistik maka penulisan itu saya pandang masih dalam koridor legal formal dan sesuai dengan kode etik jurnalistik. Dalam dunia kewartawanan tulisan model itu termasuk penulisan opini interpretatif dimana opini berisi pendapat yang berupa interpretasi wartawan atas fakta (Kode Etik Jurnalistik, Bandung 15 Maret 2006).
Bagaimana dengan penulisan inisial sebagai ganti penyebutan identitas narasumber? Sejauh yang saya ketahui dalam ilmu jurnalistik, hal ini adalah bentuk pertanggungjawaban wartawan terhadap kewajibannya melindungi narasumber dalam penulisan berita. Penggunaan inisial dilakukan manakala narasumber tidak bersedia dikorankan namanya secara lengkap.
Acuan soal perlindungan terhadap narasumber ini terdapat dalam Pasal 7 pada draft kode etik jurnalistik yang Maret 2006 lalu direvisi pada Hari Pers Nasional di Bandung. Dalam draft tersebut dinyatakan "Wartawan Indonesia memiliki hak tolak untuk melindungi narasumber yang tidak bersedia diketahui identitas maupun keberadaannya, menghargai ketentuan embargo, informasi latar belakang, dan “off the record” sesuai dengan kesepakatan (wartawan dan Narasumber-pen.)".
Kemudian bagaimana dengan kategori tulisan dapat dikatakan fitnah atau bukan?
Dalam draft yang sama, penjelasan pasal 4 dikatakan, "Fitnah berarti tuduhan tanpa dasar yang dilakukan secara sengaja dengan niat buruk". Pada kasus Ro'yuna tentu saja belum dapat dikatakan fitnah karena tidak menyebut secara terang nama-nama orang yang terlibat. Tidak ada yang "tertonjok" dan masih multitafsir.
Trendnya kasus pelaporan dan pemanggilan pegiat pers mahasiswa di tiga kampus diatas mengingatkan saya pada sikap otoriter orde baru masa lampau. Kasus pemberedelan besar-besaran yang dilakukan pemerintah Suharto sekitar tahun 1991 saat itu juga berakses ke jantung perguruan tinggi dengan diberlakukannya aturan normalisasi kegiatan kampus (NKK/BKK). Pada masa itu pers mahasiswa dan gerakan-gerakan mahasiswa lain dikandangkan dengan nama "normalisasi" dibawah kendali Rektor. Inikah yang terjadi lagi saat ini?

Menyoal Kebebasan Pers Pasca Reformasi
Baru lalu Pada 14 Maret 2006 kita telah memperingati Hari Pers nasional (HPN). Hajatan Insan Pers (temasuk Pers Mahasiswa karena PPMI turut diundang pada acara itu) yang diselenggarakan di Bandung itu selain menghasilkan revisi kode etik jurnalistik Tahun 1999 juga secara langsung telah menyegarkan kembali semangat kebebasan pers sebagai bias positif dari era keterbukaan pasca reformasi 1998.
Banyak undang-undang yang menjamin kebebasan pers. Biasanya banyak penulis mengacu pada Undang-Undang Pers No 40 Tahun 1999 "kemerdekaan pers adalah salah satu wujud kedaulatan rakyat yang berasaskan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan, dan supremasi hukum" demikian salah satu bunyi pasalnya. Jelas kemudian kebebasan pers sejalan dengan tugas dan fungsi pers sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, dan kontrol sosial. Kemerdekaan pers harus dimaknai seluas-luasnya dengan batasan normatif, menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat serta asas praduga tak bersalah.
Terkait dengan kebebasan yang dimiliki pers kita akan menyoal juga independensi. Dalam undang-undang maupun kode etik jurnalistik Independensi dimaknai sebagai tidak adanya hak campur tangan, paksaan, dan intervensi dari pihak lain termasuk pemilik perusahaan pers dalam pemberitaan. Dengan catatan harus dalam koridor pemberitaan yang benar dan berorientasi pada kepentingan publik atau meminjam bahasanya IAIN Maslahah Al-Ammah.
Untuk Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) saya cenderung memaknai pemiliknya adalah lembaga perguruan tinggi dimana LPM itu berada - itupun jika disepakati!! dan jika tidak maka kepemilikannya justru berada di tangan mahasiswa sendiri, alasan saya sederhana saja, karena secara finansial Pers Mahasiswa di biayai dari SPP mahasiswa sendiri
Maka yang harus ditegaskan soal independensi Pers Mahasiswa adalah bahwa lembaga Perguruan Tinggi tidak berhak memanggil apalagi membredelnya dengan alasan apapun. Pembentukan opini perihal "pembredelan" bagi saya sah-sah saja namun tentu juga akan menjadi lelucon yang menjadi bahan tertawaan orang, karena saat ini selururuh warga bangsa justru sedang menuju transisi serta pembelajarab demokrasi disemua sektor termasuk demokratisasi kampus.
Namun sebetulnya untuk kasus Ro'yuna di IAIN Mataram, kita perlu melihat dari banyak aspek yang satu sama lainnya bolehlah dikatakan saling terkait. Misalnya saja proses pemilihan rektor baru lalu yang secara tidak langsung telah menciptakan sosio politik kampus yang gerah bahkan panas. Dalam situasi ini, jangan heran jika isu kecil perihal "jual beli nilai" direspon keras, anarkis bahkan konon hingga mewarnai rapat Senat.
Secara reflektif kita juga mesti melihat beberapa masalah yang menghinggap dan urung terselesaikan dikampus ini. Misal saja kerasnya isu adanya praktek korupsi, kolusi dan nepotisme dalam pengadaan beberapa fasilitas kampus yang menimbulkan aksi-aksi dan orasi mahasiswa.
Seperti diberitakan koran ini beberapa waktu lalu, aksi mahasiswa menuntut transparansi dalam beberapa persoalan pengadaan fasilitas kampus sepertinya tak pernah kehabisan energi. Mereka terus mewacanakannya hingga membentuk "narasi besar" yang rawan dan "membahayakan" terutama bagi pejabat-pejabat yang terindikasi terlibat. Maka asumsi saya kemudian, isu "jual beli nilai" yang saya sebut "narasi pinggiran" dicuatkan begitu saja sebagai "pelampung penyelamat" narasi besar korupsi,kolusi dan nepotisme itu.
Ini sekedar asumsi yang kebenarannyapun masih menerawang sebatas wacana, namun jika benar sungguh sangat ironis dan tragis terlebih karena yang dikambinghitamkan adalah pers mahasiswa yang semestinya menjadi mitra kerja pihak rektorat dalam membangun demokratisasi kampus. Cukup mencurigakan ketika "corong demokratisasi" itu ingin ditertibkan? Ada apa denganmu IAIN?.
Kebebasan bersuara, entah melalui tulisan ataupun mimbar bebas di perguruan tinggi semestinya dihargai sebagai bentuk ekspresi, kreasi dan pembelajaran demokrasi. Intervensi terlalu dalam oleh Perguruan Tinggi terhadap organisasi pers mahasiswa tidak lain adalah bentuk represifitas, otoritarianisme dan dan premanisme yang terjadi di dunia orang-orang cerdas-pandai ini. Sangat sayang jika semangat reformasi yang pada 1998 silam dimulai dari perguruan tinggi justru tenggelam, terberangus, tertindas dan dikhianati juga di tempat yang sama!!! Kita tidak lagi bertugas mengawal reformasi tapi juga harus ikut terlibat dalam tiap gerak langkah politik dan demokratisasi dewasa ini! Hidup mahasiswa!.[]


Refleksi Korupsi di NTB
Oleh : Jhelly Maestro

Rasulullah Bersabda : “Barang siapa yang kami angkat menjadi pekerja untuk melakukan suatu pekerjaan dan kami beri upah (gaji), kemudian dia mengambil sesuatu diluar upah yang ditentukan, maka dia dikategorikan orang yang melakukan penghianatan (ghulul)”. Hadist Riwayat Abu Dawud

Korupsi di Indonesia bak ranjau mematikan, ia telah menjelembabkan Indonesia di dasar keterpurukan, menjamur bak amuba yang menemukan mangsa lalu beranak-pinak, dengan bahasa lain “terungkap satu tumbuh seribu”. Korupsi terlanjur menjadi parasit yang meranggaskan pohon kebangsaan dan kenegaraan kita. Korupsilah yang menjadi alasan substansi Indonesia menjadi negara miskin banyak hutang, negara yang tertindas dan bangsa yang terancam punah dan terpecah-pecah.
Untuk diingat pada akhir tahun 2003 saja Indonesia mendapat predikat negara “paling banyak hutang” yakni sekitar US$134,9 miliar yang dipinjam dari Amerika dan IMF ditambah satu predikat lagi yakni Indonesia masuk dalam deretan “negara terkorup dunia” yang dipublikasikan Tranparency International melalui Corruption Perception Index (CPI). Namun hebat! negara kita tenang-tenang saja. Malah pemerintahnya unjuk gigi berutang lebih banyak lagi dan tindak korupsi semakin menjadi-jadi. Sialnya lagi korupsi ini berpraktek juga di sektor pendidikan yang sebenarnya diharapkan menjadi benteng pertahanan Indonesia masa depan. Apa lacur jika di sektor pendidikan saja sudah terjadi krisis moralitas seperti korupsi, maka dapat dipastikan sektor-sektor lain akan lebih parah dari itu?
Bukan omong kosong jika sektor pendidikan termasuk lahan basah korupsi di Indonesia. Pendidikan dengan pernak-pernik feodalisme birokratisnya telah menumpulkan sistem kontrol masyarakatnya dengan bersembunyi dibalik identitas “sok moralis dan sok suci” “sok pintar dan sok terdidik”. Dan dengan demikian, dunia pendidikan seakan haram terjamah amoralitas atau suci dari tindak kejahatan korupsi. Padahal tidak demikian samasekali, jika ditelusuri lebih dalam, maka akan ditemui sebetulnya tindak korupsi di dunia pendidikan justru tak kalah maraknya dengan yang terjadi di sektor-sektor lain seperti kehakiman, kepolisian atau perbankan.
Hal ini dikarenakan sektor pendidikan seperti sekolah dan kampus termasuk sektor yang mendapat jatah terbilang subur dalam pengadaan barang dan jasa dari pemerintah. Saya mencontohkan Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Mataram yang kini telah berubah status menjadi Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Mataram. Dalam satu tahun anggaran saja tak kurang dari sebelas pos perbelanjaan yang tercatat dalam Daftar Isian Proyeknya (DIP/ sekarang berganti nama DIPA). Ditahun 2004 misalnya total DIP untuk lembaga ini adalah tiga milyar rupiah lebih. Diantara sebelas pos itu secara spesifik dapat disebut misalnya peningkatan perguruan tinggi,administrasi proyek,pengadaan meublair,pengadaan alat laboratorium,pengadaan buku perpustakaan,pembangunan sarana dan prasarana gedung, perawatan gedung pendidikan dan rumah dinas,perawatan gedung kesehatan pendidikan dan banyak lagi yang kesemua itu mayoritas orientasinya lebih ke pengadaan barang dan jasa.
Oleh karenanya wajar bila sektor pendidikan menjadi sangat rawan dan tentu saja “basah” korupsi. Bila kita mengintip analisis Indonesian Procurement Watch (IPW) yang mulai mempublikasikan Tool Kit Anti Korupsi sejak Mei 2005 lalu, maka sektor pengadaan barang dan jasa memang adalah salah satu lahan korupsi paling subur di Indonesia (Komarudin Hidayat, 2005). Alasannya jelas, karena dari total anggaran pemerintah dalam APBN dan APBD ditemui sekitar 60 persen habis untuk pengadaan barang dan jasa. Sementara kebocoran yang terjadi akibat korupsi mencapai angka 10 hingga 50 persen. Sementara itu disektor pendidikan, karena banyak yang dialokasikan untuk pengadaan barang dan jasa diperkirakan angka kebocorannya sekitar 5 sampai 15 persen dari total bocornya anggaran.
Adapun modus operandi korupsi dalam sektor pengadaan barang dan jasa ini secara umum telah di publikasikan oleh Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) melalui Centre of International Crime Prevention (CICP) dengan istilah “The 10 Coruption Acts” atau sepuluh modus tindak korupsi dalam pengadaan barang dan jasa di sektor publik yakni : Pemalsuan, Penyuapan/sogok, pemerasan, penggelapan, penyalahgunaan wewenang, sumbangan ilegal, pemberian komisi, nepotisme, pilih kasih dan sindikat bisnis orang dalam (Tool Kit Anti Korupsi bidang pengadaan barang dan jasa versi IPW).
Khusus di NTB, 10 model korupsi dalam pengadaan barang dan jasa tersebut dipastikan sangat banyak terjadi. Bukan koar-koar sebatas wacana, data riil dilapangan dapat kita temui dari analisis dan hasil penelitian beberapa organisasi masyarakat seperti LSM/NGO, Pers dan beberapa elemen masyarakat independen lainnya yang pernah melakukan investigasi terhadap hal ini. Sebutlah misalnya di NTB terdapat Solidaritas Masyarakat Transparansi (SOMASI) NTB yang pernah mempublikasikan hasil investigasinya dalam beberapa kasus penyelewengan dana APBN dan APBD dalam hal pengadaan barang dan jasa di daerah ini.
Seperti yang ditulis Ervien Kaffah salah seorang aktifis SOMASI NTB dalam buku Fiqh Korupsi Amanah dan Kekuasaan (2003), kecenderungan belakangan ini yang terjadi adalah pola pengadaan proyek dengan sistem Investasi atau populer disebut sistem Voor Finance Sharing yang ditafsirkannya sebagai sistem yang ditempuh mengandaikan pengusaha/rekanan melakukan proses pengadaan terlebih dahulu dengan dana sendiri dan secara bertahap pihak pengguna proyek (pemerintah daerah/instansi terkait) akan melunasinya dengan cara mencicil (hal 186-187).
Jika merunut pada undang-undang maka sistem ini jelas tidak ada aturannya, dan cacat secara hukum. Namun walaupun demikian entah darimana pihak pengguna proyek dan pihak penyedia jasa proyek seakan memberanikan diri melakukannya. Asumsi saya, antara keduanya terjadi kong kali kong yang ASAM SENG “Asal Sama Sama Menguntungkan, Asal Sama Sama Senang”.
Sebutlah misalnya seperti yang dicatat Ervien dalam bukunya. Ditahun 2003 saja terdapat sedikitnya 16 proyek di NTB yang dilakukan dengan sistem Voor Finance Sharing yang masing-masing adalah 7 pembangunan Pasar, 5 pembangunan sekolah, 1 pembangunan Rumah sakit dan 3 pembangunan rumah/asrama bersubsidi. Keenam belas proyek “bermasalah” tersebut tersebar di tiga kabupaten/kota yakni Mataram, Lombok Barat dan Lombok Tengah.
Bagaimana dengan tiga tahun terakhir? Antara rentang 2004, 2005 dan 2006 sekarang? Belum ada yang membukukannya seperti yang dilakukan Ervien, hanya saja jika kita rajin mengamati proses pembangunan di NTB, maka praktek korupsi dalam pengadaan barang dan jasa dengan sistem Voor Finance Sharing bukannya meredup bahkan sebaliknya menunjukkan intensitas yang lebih banyak lagi.
Baru-baru ini Gabungan Pengusaha Konstruksi Indonesia (Gapeksindo) mempermasalahkan sistem kontrak proyek Voor Finance Sharing yang dilakukan pihak Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Mataram dengan PT. Karya Pratama senilai 107 Miliar rupiah (Lombok Post 17/4). Proyek tersebut diketahui bahkan menggunakan sistem Penunjukan Langsung (PL) yang artinya dilakukan tanpa tender resmi dan jelas-jelas bertentangan dengan Kepres Nomor 80 Tahun 2003 yang mengatur lengkap perihal pengadaan barang dan jasa pemerintah.
Seperti praktek Voor Finance Sharing umumnya, proyek yang terjadi di IAIN Mataram juga demikian. Nilai proyek sebesar 107 Milyar rupiah dikerjakan oleh pihak rekanan dengan duit sendiri dan dibayar belakangan dengan sistem cicilan. Konon proyek yang sudah dikerjakan sejak dua tahun lalu itu telah menghabiskan duit sebesar 10 Milyar. Sementara itu, karena IAIN belum kunjung bisa membayar, proyek tersebut terpaksa dihentikan oleh pihak rekanan dengan alasan tidak ada dana. Bahkan kabarnya dana pembangunan yang diambilkan dari APBN itu pernah turun namun karena proyek ini dinilai pemerintah tidak prosedural,maka duit tersebut dikembalikan lagi ke pusat. Lebih sialnya lagi aroma korupsi dalam proses ini mau tidak mau menjadi obrolan yang mengiriskan baik didalam maupun diluar kampus Naudzubillah jika korupsi itu memang betul-betul dilakukan oleh orang-orang IAIN!
Namun tentu saja bukan hanya IAIN yang berpotensi melakukan proyek “gelap” macam begini. Kampus Islam ini sekedar saya jadikan contoh kasus karena saya termasuk civitas didalamnya yang mempunyai tanggungjawab mengkritisi. Hanya saja terlepas dari model korupsi apapun dan terjadi di sektor manapun di daerah ini, bagi saya merupakan aib daerah yang harus dibersihkan. Pengawasan yang intensif dan perhatian yang kritis dari semua elemen masyarakat NTB terutama oleh LSM,Ormas,Akademisi,Pers,Mahasiswa dan Tuan Guru serta masyarakat secara umum adalah solusi agar hal ini tak terjadi lagi dikemudian hari.
Dan yang paling penting, jangan kita tampil sebagai pecundang-pecundang ilmiah yang dengan retorika dan bahasa justru menghitamkan wajah sendiri. Tulisan ini sekedar interupsi dari sekian banyak persoalan korupsi yang terjadi di daerah ini. Mengingatkan dan mengkritisi tentu bukan berarti menebar kejelekan (fitnah) bukan?.
Ada baiknya saya mengutip firman Allah yang mewajibkan kita saling mengkritisi dengan konstruktif “Telah dikutuk orang-orang kafir dari Bani Isra’il melalui lisan Dawud dan Isa putra Maryam, disebabkan mereka selalu durhaka dan melampui batas, mereka satu sama lain tidak mau mengoreksi dan mengkritik kemungkaran yang mereka perbuat, sungguh sangat buruk yang mereka lakukan” (Al-Ma’idah: 78-79).[]

Opera Sabun Kejati NTB
Oleh : Jhelly Maestro

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mencatat, dari sekian banyak Daerah di Indonesia. NTB termasuk salah satu daerah dengan kasus korupsi paling subur. Disebut-sebut para penegak hukum di daerah ini seperti polisi, Kejaksaan Tinggi dan Lembaga Peradilan belum serius menanganinya.
Kabar terakhir yang saya baca di koran ini, Pengadilan Negeri (PN) Mataram mulai membuka lagi beberapa kasus korupsi di daerah ini termasuk kasus dugaan korupsi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Nusa Tenggara Barat (NTB) Tahun 2001-2002 senilai 24,2 Miliar rupiah. Sebelumnya sidang kasus ini beberapa kali mengalami penundaan dengan berbagai alasan seperti pihak Kejaksaan yang belum siap mengajukan tuntutan, Kejaksaan belum dapat ijin pemeriksaan, Kejaksaan kesulitan mendapatkan bukti/saksi atau korupsinya yang masih dianggap kecil. Dan lumayan, dengan alasan-alasan tersebut beberapa politisi NTB yang sempat dinyatakan sebagai tersangka dapat bebas melenggang-lenggok menghirup udara segar Nusa Tenggara Barat.
Namun kabar dilanjutkannya lagi persidangan itu, belum dapat membuat masyarakat NTB tersenyum, sebab berdasar pengalaman yang sudah-sudah, Kejati NTB selalu saja kedodoran dan tersangkapun selalu lepas jeratan. Kejati seakan sekedar memutar opera sabun dan sang aktor selalu menang di akhir adegan.
Persoalan ini tentu saja memberi kesan tak menarik bagi kinerja Kejaksaan Tinggi (Kejati) NTB selama ini. Maka jangan salahkan masyarakat jika berfikir bahwa Kejati selama ini tidak pernah serius menangani kasus. Belum serius berarti juga tidak punya komitmen bahkan bisa jadi kejati “banci” dengan kasus itu karena dihadapkan dengan para tersangka yang juga masih menjabat di daerah ini.
Kesan negatif buat kejati seperti diatas hampir mengemuka disemua kasus korupsi yang ditanganinya. Dipublikasikan Solidaritas Masyarakat Transparansi (SOMASI) NTB, sedikitnya terdapat enam kasus lainnya yakni kasus dugaan korupsi DPRD Sumbawa 2001-2003 senilai Rp. 6.38 Miliar, Kasus DPRD Kota Mataram Rp.5.256 Miliar, kasus DPRD Kabupaten Lombok Tengah senilai Rp.4.087 Miliar.
Lalu kasus dugaan korupsi Proyek Pengadaan Alat Puskesmas Dinas Kesehatan NTB Tahun Anggaran 2004 senilai Rp. 2,45 Miliar, dugaan korupsi APBD NTB 2003 (APBD Jilid II) senilai Rp.19,50 Miliar dan Dugaan kolusi dan nepotisme dalam Penyaluran Kredit di PT Bank NTB senilai Rp. 9,3 miliar.
Semua kasus tersebut sepertinya jalan ditempat bahkan mandeg samasekali. Kita ambil saru contoh riil kasus dugaan korupsi dalam APBD 2001-2002 yang sempat kita bahas diatas. Kasus ini terlihat ditangani maju-mundur oleh Kejati selama lebih kurang lima tahun hingga sekarang dengan kondisi pejabat Kejati yang hampir tiap tahun berganti. Semasa Sardono,SH menjadi kepala Kejati misalnya, kejati sempat menyatakan 18 tersangka yang kesemuanya merupakan anggota DPRD NTB 2001-2002 termasuk Gubernur H. L. Srinate yang waktu itu menjabat ketua DPRD.
Kebijakanpun mundur ketika keepemimpinan kejati beralih pada Ahmad Zainal Arifin, SH. Dari semula jumlah tersangka 18 orang itu tiba-tiba menciut menjadi 12 orang dengan tercoretnya nama-nama penting termasuk Gubernur NTB dan sejumlah ketua fraksi parpol besar. Pada masa Muhammad Ismail, SH. MH. bahkan kasus ini hampir tak terbahas sedikitpun hingga berlanjut pada kepemimpinan Kejati berikutnya.
Terakhir, beberapa bulan lalu Kepala Kejati NTB kembali berganti. Kali ini DR. Singgih Iswara, SH. MH memegang tampuk pimpinan lembaga yang menjadi harapan satu-satunya rakyat NTB itu. Dalam profilnya beliau disebut-sebut pernah menjabat Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Kejaksaan Agung (Kejagung) RI. Dari segi kapabilitas jabatan Kepala Kejati satu ini diharapkan lebih tangkas melakukan manuver-manuver berani dalam menindak kasus-kasus korupsi termasuk di DPRD tadi. Namun entahlah, harapan-harapan itu bakal terealisasi atau malah gagal lagi karena hingga hari inipun pak Singgih hampir belum melakukan hal-hal yang cukup berarti. Pertanyaan penting buat kejaksaan kini, masihkah akan memutar opera sabun seperti seblumnya?
Apapun jawaban atas pertanyaan ini saya pastikan akan jadi barometer penting progresifitas kinerja Kejati selanjutnya dalam memberantas korupsi di daerah ini. Harapan-harapan masyarakat seperti Kejati harus melakukan langkah-langkah prefentif dan berani dalam menindak kasus adalah tawaran awal untuk menguji kredibilitas Kejati baru walau yang akan menjadi taruhan adalah berhadap-hadapan dengan petinggi-petinggi daerah yang tengah berkuasa saat ini.
Sebagai aparat penegak hukum ring pertama saya fikir inilah kesempatan baik buat kejati memperbaiki reputasinya. Dalam masa kepemimpinan DR. Singgih Iswara, SH. MH yang baru dilanik itu, kerja-kerja riil sedang ditunggu masyarakat NTB. Beberapa kasus korupsi yang dianggap data, bukti dan saksinya paling lengkap saya fikir perlu diprioritaskan biar tidak ada lagi kata “undur” “tangguhkan” apalagi ditutup samasekali. Kami tunggu! []

Mulai Peredaran Heroin di NTB!
Oleh: Jhelly Maestro

Anda jangan tertipu dengan judul diatas, kata itu bukan ungkapan teror seorang mafia narkoba kelas kakap atau ungkapan kepala kepolisian NTB. Itu hanya seruan dari anak NTB yang tengah gelisah melihat maraknya peredaran narkoba di Indonesia bagian Timur termasuk daerah NTB.
Gencarnya promosi pariwisata yang dilakukan Indonesia -khususnya untuk pulau Bali dan Lombok- ke Luar Negeri membawa dampak positif sekaligus negatif bagi perkembangan ekonomi, budaya dan politik di dua daerah tersebut. Dampak yang pertama tentu kita bisa bicara banyak. Bali telah mendapatkan pengakuan dari pemerintah pusat bahwa daerah ini termasuk daerah yang menyumbangkan devisa terbesar dari sektor pariwisata. Karena promosi wisata untuk Bali ini, Indonesia menjadi tujuan utama para wisatawan mancanegara dengan ikon pantai Kute, Sanur dan beberapa obyek wisata di daerah ini.
Sementara untuk Pulau Lombok, walaupun tingkat promosinya masih dibawah Bali, daerah ini nampaknya bakal menyusul dikemudian hari karena perkembangan ekonomi dan pariwisata di daerah ini juga terlihat makin ‘hidup’. Pantai Senggigi, pantai Sire, Tiga gili (Trawangan, Air dan Meno) dan beberapa tempat wisata lainnya telah menarik minat para investor asing meraup keuntungan dipulau kecil ini.
Mengenai dampak yang kedua kita tak kalah bisa bicara banyak. Bali dan Lombok telah menjadi agen pemasok budaya baru (Barat) khususnya budaya-budaya negatif yang cenderung dekonstruktif terhadap nilai-nilai budaya Asli Bali dan Lombok.
Pengadopsian besar-besaran terhadap budaya asing ini tak bisa lepas dari keberadaan Bali sebagai gerbang internasional kedua setelah Jakarta. Sementara itu Lombok, karena secara geografis daerah ini berdekatan dengan Bali, mau tak mau ikut juga terkena imbas apalagi secara antropologis dua daerah ini masih serumpun (Etnis, Budaya dan bahasa) walaupun tak semua orang setuju tentang hal ini.
Pada Mei 2005 lalu majalah mingguan TEMPO mengupas sindikat jaringan Internasional pengedar Narkoba di Bali, fokus liputan pada seorang bule berkwarganegaraan Australia Andrew Chan. Pria ini ditangkap saat akan membawa Heroin 10,9 kilogram ke Australia melalui bandara Ngurah Rai. Analisis TEMPO bahwa Bali telah dijadikan tempat transit dan transaksi sekaligus pasar potensial narkotika Internasional yang dinilai cukup aman. Analisis ini bukan tanpa data, majalah itu mencatat terdapat 6 kasus serupa telah dilakukan warga asing di Bali dengan modus operandi pura-pura menjadi turis.
Dari beberapa kasus tersebut menurut analisis TEMPO bahwa Narkotik seperti heroin, morfin, dan kokain yang masuk ke Indonesia umumnya berasal dari negara-negara Bulan Sabit seperti Iran, pakistan dan Afganistan. Juga datang dari kawasan segi tiga emas yakni Birma, Thailand dan Laos. Sedang ganja selain berasal dari Luar Negeri juga berasal dari dalam negeri seperti Aceh. Sementara itu untuk barang haram lain seperti sabu-sabu dan pil ekstasi ada yang datang dari Hongkong dan ada yang di produksi di Jakarta.(Tempo 16 Mei 2005).
Distribusi barang-barang ‘haram’ dari luar negeri ini cukup menyentak bagi dunia pariwisata di Indonesia. Selain karena bidikannya pada dua pulau wisata paling potensial Bali dan Lombok juga karena yang terlibat justru mafia narkotik Internasional. Tersebutnya tiga geng/mafia narkotik seperti Yakuza (Jepang), Triad (Hongkong) dan Big Circle (Cina) tentu mengindikasikan peredaraan narkoba ‘kelas berat’ di dua daerah tersebut tidak main-main lagi. Ini membuat saya cukup hawatir dengan nasib pariwisata yang telah terkadung dianggap ‘bersih’ di dunia internasional. Selain itu saya juga sangat khawatir terhadap dampak negatif masa depan generasi muda khususnya di dua daerah ini. Saya tidak cukup data untuk menunjukkan berapa besar generasi muda kita yang sudah tercemar dengan dampak ini, hanya saja dengan bilangan kata-kata saya bisa menggambarkan bahwa persoalan ini sudah seperti labirin narkoba yang jika tidak diatasi segera maka akan merusak bangsa ini dan akan mengalami krisis generasi. Dan saya membayangkan akan terdapat The Darkness Generation (Generasi suram) yang tidak akan bisa berbuat banyak buat bangsa ini bahkan sebaliknya akan meporak-porandakan tatanan budaya, dan otak generasi muda setelah mereka.
Apa sesungguhnya persoalan yang tengah kita hadapi saat ini? Saya melihat ada empat persoalan yang mesti diungkap. Pertama : kebijakan pemerintah dalam mengembangkan pariwisata terlalu opensif. Kebijakan diberlakukannya Visa on Arrival (VOA) semestinya dikaji dan dipertimbangkan ulang. Walaupun VOA dirasakan manfaatnya untuk menarik wisatawan berduyun-duyun ke negeri ini, namun VOA juga membawa dampak negatif yaitu memberi kesempatan bebas turis-turis mancanegara keluar masuk negeri dengan bermacam kepentingan dan urusan bisnis terlarang dengan mudah.
Kedua : Kondisi pengawasan bea cukai yang ‘ruwet’ dan tentu hal ini sangat memprihatinkan. Sudah setumpuk sejarah gelap yang menggambarkan betapa bea cukai kita sangat tidak layak lagi disebut pengawas barang yang keluar masuk di negara ini. Yang bisa diosebut, kasus penyelundupan ilegal loging, penyelundupan mobil mewah, impor sembako ilegal seperti beras dan gula pasir dan termasuk juga penyelundupan barang-barang ‘haram ini’.
Ketiga : kebebasan para pembisnis-pembisnis pariwisata membuka tempat-tempat hiburan yang cenderung mengabaikan sisi-sisi moral. Menjamurnya diskotik, Pub, Panti pijat, dan semacamnya adalah beberapa contoh yang teramat riskan dan terbuka lebar untuk menjadi ajang transaksi barang-barang seperti narkotik, heroin dan semacamnya.
Keempat: Konstruksi hukum kita yang lemah. Lembaga kepolisian, kejaksaan dan peradilan nampaknya tidak dapat diharapkan untuk tuntas memberantas masalah. Karena kasus peredaran Narkotik di tingkat elit seperti ini bisa di netralisir dengan segepok uang sogokan untuk seorang aparat kepolisian. Beberapa teman saya pernah berseloroh, di areal parkir pariwisata di Senggigi seperti diskotik, pub, panti pijat dan lainnya sering mereka temukan mobil plat merah atau plat polisi. Ironis ! justru mereka menjadi oknum yang terlibat.
Untuk sementara ini peredaran narkoba yang dilakukan jaringan narkotik internasional hanya bisa di deteksi di Bali. Dan untuk NTB saya berbaik sangka belum. Hanya saja pernyataan ‘belum’ berarti akan menuntut untuk terjadi dikemudian hari.
Hal yang urgen untuk kita antisipasi. Beberapa hal yang bisa kita lakukan adalah pemerintah dan masyarakat harus betul-betul memikirkan prospek dan introspek.pariwisata. Kedua-duanya harus berjalan seiring. Maksud saya bahwa jika pemerintah dan masyarakat hanya memikirkan prospek yang orientasinya bisnis dan kepentingan maka saya khawatir sekali akan terjadi disconect (tak nyambung) dengan budaya lokal (local wisdom) atau tradisi pribumi yang sudah mengakar khususnya dengan budaya Bali dan Sasak yang tak pernah mengenal budaya Narkotik dan sejenisnya.
Untuk hal ini saya harus pertegas pada tiga hal mendasar. Pertama : Pariwisata sudah saatnya mengacu pada konstruksi tradisi/budaya lokal masyarakat dan meminimalisir pengadopsian budaya-budaya asing (Western). Bentuk yang bisa kita aplikasikan adalah kita membangun lokalisasi hiburan yang sarat dengan nilai-nilai masyarakat setempat.
Untuk di Lombok keberadaan awek-awek saya fikir akan sangat ideal dan menjadi aset budaya yang mesti di re-aktualisasi. Karena awek-awek ini adalah buah karya dan ijtihad masyarakat sendiri dalam rangka memberikan kenyamanan terhadap warga yang merasa terusik dengan bentuk-bentuk yang bertentangan dengan moralitas.
Ide gila! Masa’ turis-turis tersebut harus di awek-awek ketika melanggar garis batas nilai-nilai lokal seperti mengedarkan narkoba misalnya? Saya fikir tidak ‘gila’ justru ide ini ‘waras’ dan sangat mungkin dilakukan. Awek-awek ini adalah aset budaya kita yang sangat luhur dan ini berlaku bagi siapa saja. Jika ini di berlakukan lagi, saya yakin nilai wisata kita akan semakin khas. Dan dengan kekhasan tersebut kita justru akan menarik wisatawan lebih banyak lagi.
Kedua : kita perlu menstimulasi pembisnis-pembisnis lokal menancapkan kukunya di daerah sendiri. Seperti kita tahu, selama ini dunia bisnis pariwisata kita masih lebih banyak dimonopoli oleh pengusaha-pengusaha asing. Hal ini berpengaruh besar pada perangkat-perangkat bisnis hiburan yang mereka bikin. Dan potensi menjadi ajang yang saya sebut sedari awal ‘peredaran narkotik’ sangatlah besar.
Barangkali ada yang menyangkal, orang kaya di daerah NTB ini sangat sedikit bahkan ada yang kaya namun tidak menjadi bisnisman mereka memilih menjadi birokrat atau lainnya. Satu lagi bantahan yang kerap ada Sumber Daya Manusia khususnya profesionalisme yang sangat kurang? Itu hal yang amat apologetis menurut saya, potensi tersebut masih ada dan bisa kita raih. Kiprah Achmad Akeang pemilik hotel Sahid Legi saya fikir bisa menjadi cermin, “bercermin di kaca benggala yang jernih” demikian pujian pengarang buku “orang biasa yang tak biasa” Farid Tolomundu.
Pemerintah juga harus benar-benar memberi kesempatan kepada mereka untuk berkiprah, sudah saatnya pemerintah tidak berfikir tentang duit besar yang pengusaha-pengusaha tersebut berikan namun lebih kepada orientasi kedepan membangun ekonomi pariwisata yang bermoral.[]

DPR Bernyanyi (Lagi) Lagu “Setuju”
Oleh: Jhelly Maestro

Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pekan-pekan ini menjadi fokus perhatian masyarakat. Mulai dari media massa, pengamat politik, pengamat ekonomi sampai pada petani dan buruh. Pasalnya lembaga ini dalam beberapa bulan terakhir terkesan terlalu sering bersuara koor “setuju” terhadap beberapa kebijakan pemerintah yang sangat tidak populis dan merakyat.
Dalam beberapa bulan terakhir, terdapat sedikitnya tiga kebijakan pemerintah yang telah disetujui dan diputuskan kontroversial di lembaga ini yakni, kebijakan kenaikan BBM, kebijakan Impor Beras dan Suksesi Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri). Terdapat dua lagi rancangan kebijakan pemerintah yang ngantri disetujui DPR yakni Pengesahan RUU Pornografi dan pornoaksi serta rencana kenaikan Tarif Dasar Listrik (TDL).
Tentu saja ini membuat kita bertanya, mengapa setiap usulan pemerintah tersebut mulus-mulus saja disetujui DPR? Hampir tak ada clash-clash atau perdebatan yang berarti digedung bundar ini, padahal persoalan-persoalan tersebut sangat erat kaitannya dengan kepentingan rakyat seperti persoalan impor beras dan kenaikan harga BBM beberapa waktu lalu.
Wakil ketua Fraksi Partai Amanat Nasional Dradjad Wibowo pernah menganalisis jawaban atas pertanyaan ini dalam sebuah artikel di media massa, ia mengatakan ini adalah resiko dari sistem perwakilan partai politik (parpol) dalam kabinet. Ini menurutnya telah melumpuhkan semangat kritis DPR terhadap pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Dengan tanda kutip Wibowo menulis partai-partai yang terwakili di kabinet tersebut adalah mayoritas “partai pendukung pemerintah” (Kompas, 23/1), bahkan juga termasuk partainya sendiri. Karenanya mereka tidak boleh menolak kebijakan pemerintah dan cukup mengkritisi ala kadarnya saja.
Bagi saya sikap kritis Wibowo perlu diberikan apresiasi walaupun bukan tidak mungkin dibalik kekritisan itu terdapat kepentingan-kepentingan politis lain seperti menaikkan reputasi F-PAN DPR dalam sorotan publik atas sikap koor “setuju” yang dilakukan DPR selama ini misalnya. Atau paling tidak ia bermaksud mengambil hati rakyat dan menegaskan fraksinya sebagai oposan atas partai demokrat dan Golkar yang sudah jelas-jelas akan selalu bilang “setuju” terhadap setiap kebijakan yang diusulkan pemerintahan SBY-Kalla pada jelang waktu hingga kita laksanakan pemilu tahun 2009 nanti.
Jika kita cermati, suara oposan sebetulnya tidak hanya datang dari PAN, empat partai lain juga menyuarakannya yakni PKB, PPP, PKS dan PBB. Hanya saja suara-suara oposan tersebut sebatas suara sumbang yang tak terdengar hingga luar gedung dan yang ujung-ujungnyapun koor “setuju” mengiringi keputusan-keputusan yang justru kita rasakan merugikan rakyat dan menguntungkan pemerintah. Lebih ironis lagi, kepentingan-kepentingan pribadi dan kelompok menjadi prioritas utama dan terakhir. Ini menjadi “taruhan” ketika diberikan hak Recall oleh partai masing-masing yang tentu saja membuat suasana Senayan kian mengerikan.
Jelas kemudian yang berkuasa saat ini adalah partai, partai adalah kelompok, kelompok adalah juga golongan, daerah, etnis dan lain-lain. Tidak heran jika beberapa waktu lalu di Mataram, mantan Presiden KH. Abdurrahman Wahid kembali menegaskan kritik pedasnya ke DPR hari ini, “mereka bukan berjuang atas nama negara tapi telah berjuang atas nama kaum” demikian Gusdur berseloroh tajam. Kaum yang dimaksud Gusdur adalah Kaum Partai, Kaum Etnis, Kaum Agama, Kaum Organisasi dan kaum-kaum lainnya.
Sangat ironis memang ketika terjadi pemutarbalikkan fungsi DPR hari ini, dari fungsi memperjuangkan dan menyuarakan kepentingan rakyat menjadi berfungsi sebagai pembela kepentingan kaum dan pemerintah. Dari fungsi sebagai pengontrol pemerintah menjadi subordinat pemerintah sendiri sehingga membungkamnya untuk berujar kritis. Fungsi DPR kian kabur!
Bahkan bagi saya yang melihat dengan kacamata rakyat biasa, ingin berkata jujur bahwa kontrol dan pengawasan terhadap pemerintah hari ini justru lebih banyak di hembuskan oleh Gusdur dan barisan aktivis pro demokrasi lainnya yang jauh dari lingkaran kekuasaan. Dan ini menjadi pertanyaan besar buat DPR yang mesti dijawab dengan nurani, mengapa tidak dilakukan dari Senayan oleh mereka-mereka yang malah tengah memegang kekuasaan itu?.
Akhirnya kekhawatiran kita tentang klaim bahwa DPR akan terus-terusan menjadi stempel pemerintah SBY-Kalla dikemudian hari bisa saja menjadi kenyataan. Bahkan bukan tidak mungkin dibeberapa kebijakan selanjutnya nanti, DPR akan terus-terusan bernyanyi kompak lagu “setuju” di gedung bundar Senayan. Maka kita perlu bertanya apa bedanya dengan Orde Baru? Akankah lirik Iwan Fals berjudul D5 (Datang, Duduk, Dengar, Diam dan Duit) yang sempat menjadi favorite anak muda di tahun 90-an diputar lagi dan ngetrend lagi?
Jawabannya hanya dua “Jangan” dan “tidak”! Jangan karena era kita bukan era otoriter seperti masanya Suharto dimana yang ada hanyalah It’s Ok Bos!, “Tidak” karena memang kita tak ingin angin segar reformasi yang susah-susah kita hembuskan pada Mei 1998 kembali tersendat dan tak terhirup lagi.
Jika jawaban ini diabaikan kekhawatiran mendalam kita adalah kembalinya barak militer dan Istana Golkar menyetel segala kebijakan kenegaraan. Walhasil reformasi hanyalah busa yang dalam beberapa saat kemudian hilang dan tak berbekas. Tapi kita berharap bangsa ini masih punya asa untuk merubah menuju sistem politik yang lebih elegan, terbuka dan berorientasi pada hati nurani. []